Bisakah Semuanya Terpenuhi?

Start from the beginning
                                    

Aku menatap ayahku yang kini juga sedang memandangku dengan tatapan menyelidik. "Kamu pacaran sama Reisya?" pertanyaan yang lolos darinya sontak membuatku tersedak salivaku sendiri dan berakhir membuatku batuk.

"Kan udah Bintang bilang, dia temen Bintang Yah!" ujarku meyakinkan.

"Abis kamu nggak pernah punya temen, tau-tau keluyuran sama cewek. Pergi liburan dua hari, kamu nggak ngelakuin hal diluar batas kan?" tuduhnya, yang membuatku semakin masam. Yaa, aku akui memang kami pergi dua hari, tapi bukan berarti aku bisa melakukan hal diluar batasku.

Aku masih cukup waras untuk mengendalikan diriku, "Bintang masih waras Yah."

"Ayah tau kamu tidak akan melakukan itu, ayah hanya memastikan. Bintang ayah tau kamu mungkin bersimpati pada teman kamu, tapi tolong jangan buat diri kamu sampai kelelahan, jangan terlalu memforsir tubuh kamu. Kondisi kamu juga penting nak." aku terdiam dan menunduk memainkan ujung selimutku.

"Kenapa? Apa ada masalah lain sama jantung bintang?" tebakku, yang membuat ayah terkejut di tempatnya. Bohong jika tidak ada masalah lain, karena memang aku pun merasakannya.

Ayah menghela, lalu beranjak dari tempat duduknya. "Istirahat, ayah harus mengecek pasien."

"Hmm." aku hanya bergumam dan membiarkan ayah pergi, tanpa meninggalkan jawaban untuk pertanyaanku.

Mereka selalu mengatakan kebohongan yang begitu memuakkan, kata baik-baik saja rasanya terdengar aneh di telingaku, nyatanya aku tidak baik-baik saja. Setiap kali aku bertanya seperti apa kondisiku yang sebenarnya, baik bunda maupun ayah hanya akan menghindar dan mengubah topik yang ada. Aku sudah terlalu lelah untuk menanyakan hal itu, dan berakhir hanya diam.

Aku melepas nasal kanula yang bertengger manis dibawah hidungku. Beberapa kali terbatuk karena rasa sesak dan nyeri yang bergumbul di dada itu masih ada. Aku melepaskan oxynometer yang menjepit jari telunjukku. Kemudian aku beranjak turun dari ranjang dengan sedikit susah payah. Kutapaki lantai dingin dengan kakiku yang tanpa alas, dengan mendorong tiang infusku. Aku berjalan menuju jendela besar yang ada di kamarku, membuka sebagian jendela itu dan membiarkan angin dari luar menabrak wajahku. Dingin yang kurasakan saat angin malam itu terus bergantian menusuk kulitku.

Aku menatap bulan purnama yang sedang bersinar dengan terang, menghiasi kegelapan malam yang sepi tanpa bintang. Konyol rasanya setiap menyebutkan namaku sendiri, menjadi salah satu benda ikonik yang selalu dijadikan berbagai perumpamaan yang indah, atau justru kesunyian. Namun bintang di bangsal rawat ini hanya terisi kekosongan dan kesunyian. Rasanya relung jiwaku akan menggema saat ada seseorang berteriak disana.

"Bintang? Kok disitu, nanti masuk angin nak! Ditutup ya jendelanya?" Bunda menghampiriku, dan menarikku sedikit menjauh dari jendela. Dia pun menutup jendela yang kubuka, lalu membalikkan badan dan menatapku. Tangannya terulur menangkup salah satu pipiku yang tirus.

"Tuhkan dingin, katanya mau cepet-cepet pulang. Tapi nggak nurut, ayo baringan lagi, obatnya udah diminumkan?" tak menjawab pertanyaan bunda, tubuhku terhuyung kebelakang, membuat bunda langsung menangkap bahuku.

"Tuhkan ayo bunda bantu."

Bunda membantuku kembali ke ranjang, tak ingin membuat bunda semakin cemas. Yang aku lakukan hanya bisa kembali merebahkan diriku di ranjang pesakitan.

"Kenapa? Kamu berantem sama ayah?" tebaknya, aku menggeleng memberikan jawaban yang memang benar adanya.

Entahlah aku hanya kalut dengan perasaanku sendiri, takut, dan muak dengan diriku. Tapi, bagaimana pun aku tidak bisa membenci diriku sendiri. Aku hanya bisa terus berharap semuanya akan baik-baik saja.

Memories With You ✔Where stories live. Discover now