Bab 3 || First meeting

23 5 5
                                    

Axel keluar dari kompleks apartemennya dan berjalan menuju arah halte bus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Axel keluar dari kompleks apartemennya dan berjalan menuju arah halte bus. Di tangan kirinya terdapat sebuah tablet yang sudah ia buka sejak lima menit yang lalu. Ia sibuk mengecek tugas kuliahnya sambil berjalan. Saking fokusnya Axel nyaris menabrak tiang rambu lalu lintas jika saja tidak ada seseorang yang menarik lengannya. Seorang gadis dengan hoodie hitam menatapnya datar. Tangan gadis itu masih melekat di pergelangan tangannya selagi mereka saling bertatapan. Hanya beberapa detik, setelahnya gadis itu langsung pergi. Bahkan Axel belum sempat menyelesaikan kata terima kasihnya.

Axel menelengkan kepalanya bingung. Gadis itu terlihat asing dan tidak asing secara bersamaan menurutnya. Namun, Axel segera menepis perasaan itu sebab ada hal yang lebih penting sekarang. Yaitu kuliahnya. Waktunya sudah tidak banyak, ia harus bergegas segera jika tidak ingin terlambat.

Saat Axel telah duduk di dalam bus. Ia baru menyadari siapa gadis yang menolongnya tadi. Gadis itu adalah gamer wanita yang cukup populer belakangan ini. Permainannya yang ciamik membuat banyak orang yang penasaran dan ingin bermain dengannya. Setelah tidak sengaja bertemu dengannya, Axel terkekeh. Padahal mereka pernah bermain bersama sebagai tim tapi baru kali ini Axel bertemu dengannya di dunia nyata. Itu pun hanya kebetulan dan sangat sebentar.

"Ternyata aslinya lumayan juga."

***

Zia berhenti di depan pintu masuk cafe internet. Lalu menoleh ke belakang. Ke arah tiga lelaki yang mengajaknya keluar. Zia mengikuti mereka tanpa protes. Setelah menyeberang jalan. Zia melihat seorang pria yang berjalan tapi tidak melihat ke arah jalannya karena fokusnya berada di layar tablet. Zia yang biasanya cuek, tiba-tiba mengulurkan lengannya dan menarik lengan pria itu agar tidak menabrak tiang.

Pria itu menatapnya lekat-lekat. Seperti berusaha mengenali wajah Zia. Ia pun merasa risih dan langsung pergi. Ketiga pria brengsek di depannya juga sudah berteriak memanggilnya.

"Sebelah sini," ucap salah satu dari mereka.

Zia kembali melangkah mengikuti mereka dengan santai. Kedua tangannya ia sembunyikan di kantung depan hoodienya. Mereka berjalan ke sisi timur bangunan. Masuk ke celah sempit antara dua gedung. Berbelok lagi ke arah kanan lalu berhenti di gang kecil yang jarang dilalui orang-orang. Di salah satu sisi gang, bersandar lelaki dengan tato naga di tangan kirinya. Tangan kanannya memegang rokok di depan mulut. Perasaan Zia langsung tidak enak.

"Jadi ini si cantik yang jago bermain game online," ucap pria berperawakan tinggi dan berotot padat itu. Ia mulai menaruh ketertarikkan. Sebaliknya, Zia hanya menatapnya datar.

"Jadi ini teman yang akan membayar kekurangan uang taruhan."

Pria itu terkekeh. Kemudian melangkah ke arah Zia. "Kau butuh berapa, sih?"

"Tidak banyak. Tapi cukup untukku bermain gratis selama 8 jam satu minggu lamanya di cafe."

Pria bertato itu tertawa. Lalu menurunkan hoodie yang menutupi kepala Zia dan menyelipkan anak rambut yang sedikit menutupi pipi ke belakang telinga Zia. Tiga pria sebelumnya ikut mendekat dan tersenyum licik ke arahnya. Zia sangat paham dengan situasi apa yang sedang ia hadapi sekarang.

"Aku akan membayarmu. Sepuluh kali lipat."

"Benarkah?"

"Iya. Benar."

Tiga pria di belakang si pria yang berbicara tertawa kecil. Zia memperhatikan ekspresi mereka semua. Ekspresi menjijikkan. Ia tahu arah percakapan ini akan berakhir kemana. Namun Zia masih ingin mengikuti alur yang mereka mainkan.

"Apa syaratnya untuk sepuluh kali lipat itu?"

"Syaratnya gampang. Kau hanya perlu ..." pria itu mendekatkan wajahnya ke telinga Zia, lalu berbisik. "Melayani kami," sambungnya.

"Hanya itu?"

Zia paham arti dari kata 'melayani'. Karena itu ia tidak lagi menanyakan maksud dari ucapan pria brengsek itu. Bahkan kini lengan kotor itu telah meraba pundak Zia.

"Iya, hanya itu. Bagaimana? Apa kau mau?"

"Di mana tempatnya? Tidak mungkin di sini bukan?"

Si pria dan ketiga temannya itu tertawa.

"Tentu saja."

"Kami akan membawamu ke tempat yang menyenangkan."

Tiba-tiba ponsel Zia bergetar. Ia merogoh sakunya dan mengecek nama si penelepon dan ternyata Deno yang meneleponnya.

"Halo."

"Zia, kau baik-baik saja?"

"Iya."

"Apa mereka melakukan sesuatu padamu?"

"Tidak. Kalian pulang saja duluan. Aku masih ada urusan."

"Kau benar baik-baik sa-"

Zia menutup teleponnya lalu memasukkan kembali ke dalam saku. "Jadi kemana kita akan pergi?"

 "Jadi kemana kita akan pergi?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
GammaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang