Bab 2 || The girl

31 6 8
                                    

Lampu ruangan sengaja dibuat redup agar cahaya dari layar komputer memantul sempurna ke dalam retina setiap orang yang sedang fokus bermain game online

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lampu ruangan sengaja dibuat redup agar cahaya dari layar komputer memantul sempurna ke dalam retina setiap orang yang sedang fokus bermain game online. Hampir semua komputer yang tersedia di cafe internet ini telah mendapatkan pelanggannya. Gadis berambut sebahu berwarna cokelat, terlihat sangat fokus. Menjadi minoritas di antara mayoritas gender tidak membuatnya rendah diri. Tak masalah menurutnya jika kebanyakan pelanggan disini adalah lelaki. Selagi ia nyaman bermain, lingkungan sekitar tidak begitu penting. Seluruh kepalanya tertutup hoodie berwarna hitam. Kedua tangannya sibuk bergerak menekan keybord dan mouse. Figur wajahnya terlihat tenang. Bertolak belakang sekali dengan kakinya yang bergetar di bawah meja. Bukan karena gugup, tapi memang kebiasaannya seperti itu di saat sedang fokus.

"Maju dikit."

"Terus."

"Ambil amunisi. Cepat. Cepat."

"Dikit lagi."

"Tetap sembunyi di situ."

"Tembak."

Suaranya yang tenang dan tegas saat memberi aba-aba berbanding terbalik dengan gaya tempurnya yang brutal. Gadis itu berhenti memberi arahan saat layar di hadapannya telah menampakkan tulisan Victory. Beberapa lelaki di belakangnya mengeluh kesal. Sebab sudah kelima kalinya hari ini mereka dikalahkan oleh regu yang di pimpin seorang wanita.

Gadis bernama Zia itu memutar kursinya dan mengulurkan tangan sebagai tanda untuk mereka menyerahkan uang taruhan yang sudah dijanjikan. Zia menghitung lembaran uang di tangannya. Ia mengernyit lalu tersenyum miring setelahnya, sebab perhitungannya tidak sesuai dengan jumlah yang telah disepakati.

"Kalian pikir aku bodoh? Berikan sisanya." Zia mempertegas ucapan terakhirnya.

Lelaki botak dengan perut sedikit buncit itu tersenyum licik. Tepat di samping kirinya seorang lelaki kurus tinggi dengan model rambut berponi mencoba merangkul Zia. Namun dengan sigap lengan tersebut ditepisnya. Deno perlahan mengambil posisi di samping kiri Zia agar lelaki tersebut mengambil langkah menyingkir dari sisi Zia. Ia sangat tahu bahwa teman gadisnya itu tidak suka disentuh oleh orang asing.

"Bukankah kita sudah sepakat dengan jumlah taruhannya?" Ray si pendiam, akhirnya bersuara. Dia tidak mau hasil bagi kemenangan yang ia dapat berkurang karena tim lawan membayar tidak seusai kesepakatan.

"Kami kehabisan uang."

"Hah?" Zia menaikkan sebelah alisnya.

"Tenang-tenang. Aku sudah menelepon temanku untuk datang membawakan uang lagi."

Zia menyandarkan bahunya ke kursi sambil melipat tangan di dada. Tatapannya tegas dan nyaris tak ada senyum. "Baiklah akan kutunggu." Ia memutar kembali kursinya menghadap komputer.

Selang beberapa menit, lelaki di belakangnya menerima telepon dari seseorang. Zia memutar kursinya kembali dan menunggu si lelaki selesai berbicara.

"Aku akan memberikan sisanya. Tapi dengan satu syarat."

Zia mengernyit. "Apa?"

"Kau harus ikut denganku keluar."

"Oke," sahut Deno kemudian berdiri dari kursinya. Lalu disusul Ray.

"Hanya dia. Kalian tidak perlu ikut."

"What?" Deno terkejut dan tidak terima. "Kenapa kami tidak boleh ikut? Kalian ingin berniat jahat dengannya?"

"Kenapa tidak suruh temanmu saja yang masuk kesini?" ucap Ray dengan lebih tenang. Terlihat sekali perbedaan kestabilan emosi antara kedua lelaki sahabat Zia ini.

Zia menggaruk telinganya yang sedikit gatal. Ia berdiri dari kursi lalu merengangkan pinggang ke kiri dan ke kanan. Deno dan Ray menatap ke arah Zia. Begitu pula dengan tiga orang lelaki di hadapannya.

"It's okay. I'll be back," ucapnya sambil menepuk bahu Deno lalu berjalan keluar duluan. Tiga pria tersebut mengikutinya di belakang.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
GammaWhere stories live. Discover now