Vishal dan Milan bisa melihat mata dan leher Kasta selalu bergerak. Cowok berkumis tipis itu disapa dan menyapa beberapa gadis. Dan inilah alasan Vishal memperingatkan temannya itu tempo lalu ——soal jangan memacari Milan atau Sagita. Vishal sangat tahu tabiat Kasta. Walau bersahabat, ia tidak tidak memungkiri kalau Kasta berengsek. Bisa hancur persahabatan Empat Serangkai kalau Kasta memacari satu di antara mereka.

“Lumayan. Nggak usah main solo kalau ada mereka, Vi.”

Vishal tidak terkejut ketika Kasta bicara begitu. Si Motindo ini pernah mengaku sudah tidak perjakan sejak usia lima belas tahun. Vishal ngeri-ngeri sedap berteman dengannya. Kalau orang tuanya tahu, bisa kena amuk. Setelah dua bulan kenal, baru ketahuan juga kalau cowok itu tiga tahun lebih tua dari yang lain.

“Jangan bercanda lo, Kas. Buruan sebutin tanggal yang benar,” kata Sagita waktu itu. Mereka sedang mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Kebetulan ada data diri yang harus diisi.

“Ngapa nggak percaya, sih?” Kasta langsung mengeluarkan dompet dan menarik secarik kartu. Mata Vishal dan Sagita membulat. Itu Kartu Tanda Penduduk alias KTP. Astaga, jadi memang benar Kasta setua itu?!

“Anjir, kita beda tiga tahun,” kata Sagita seraya menuliskan tanggal lahir Kasta di lembar tugasnya. “Pernah nggak naik kelas apa gimana?”

“Telat masuk.”

“Ngibul! Orang mah telat masuk setahun atau dua.”

Kasta mengangkat bahu, tidak menjawab lagi.

Dari kenyataan itu Vishal akhirnya paham kenapa Kasta lebih 'apapun' dibanding teman-teman lain. Bukan saja postur tubuhnya lebih matang, kelakuannya pun seperti bukan anak SMA. Dia seperti punya jam terbang super. Teristimewa soal perempuan. Sering Vishal saksikan sahabatnya itu gonta-ganti cewek. Bilangnya memang bukan pacar, tapi justru itulah yang mengerikan. Tanpa status kenapa cewek-cewek itu mau saja dipeluk, dicium, diremas, bahkan (mungkin) ditiduri.

“Dih, siapa, tuh?” Kasta bertanya ketika mereka sampai di daun pintu kelas.

Sagita tampak sudah bangun. Duduk sebelahan dengan cowok yang seingat Kasta bukan penghuni kelas. Gadis yang sejak pagi duduk bersamanya itu tampak asyik dengan lawan bicaranya. Sesekali mengangguk, juga terkekeh.

“Gibran, kelas sebelah,” kata Milan. “Kapten eskul basket.”

Vishal mengangguk. “Sudah mulai PDKT ternyata.”

“Yep,” jawab Milan.

“Ha? Gimana?”

Vishal mendongak ke wajah Kasta yang beberapa senti lebih tinggi dari keningnya. Kentara sekali nada suara temannya ini terdengar tidak suka. Vishal tidak nyaman dengan kenyataan itu.

“Beberapa waktu lalu Sagita sempat bilang, katanya dimintain nomor hape sama anak basket. Ternyata Gibran ini orangnya.”

Sebelum Milan melanjutkan, Kasta rupanya sudah maju duluan. Cowok itu berjalan ke bangku miliknya. Tidak disangka, Kasta langsung merebah di atas meja, kedua tangannya menyangga kepala. Sontak sepasang manusia di sebelahnya terkejut. Sagita bahkan menggebuk perut Kasta saking kagetnya.

“Sucipto, ngagetin anjir!”

Kasta menyampingkan posisi tidur. Satu tangan menyangga kepala, pose santai seperti di pantai. “Yang punya bangku balik. Minggir, dong, Om.”

They Did ItWhere stories live. Discover now