𝑩𝒆𝒓𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒊𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈𝒊

1.3K 241 37
                                    

------------------------
ᴮᵃᶜᵃ ᵐᵘˢʰᵃᶠⁿʸᵃ ᵈᵘˡᵘ ᵇᵃʳᵘ ᵇᵃᶜᵃ ᵂᴾ
.
.
𝓢𝓮𝓵𝓪𝓶𝓪𝓽 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓪𝓬𝓪
------------------------

Kesepahaman kata, semua percaya bahwa kelancaran suatu peristiwa itu karena adanya falsafah kesepahaman. Tidak perlu berandai jika pemikiran sama, terpenting adalah kesepakatan atas tujuan maka mau lewat jalan mana pun juga semua akan tetap berujung di satu titik yang sama.

"Bang, apa Calla menyukai laki-laki itu?"

Satu pertanyaan dari Oomar yang akhirnya membawaku untuk kembali datang. Menemui Calla untuk memastikan semuanya.

"Kamu dengan siapa?" tanyaku ketika kedua mataku menangkap bayangan Calla berdiri di depan tempat dudukku, sendiri.

"Teman, dia masih ke toilet." Calla menjawabnya singkat lalu duduk tepat di kursi yang berhadapan denganku. "Jadi bagaimana?"

"Ingin pesan sesuatu, Dek?" Aku menawarkan.

"Tidak Bang syukraan, aku sedang syaum." Kami memang harus bicara. Hanya saja dengan kekakuan yang tercipta aku ragu untuk bisa menyampaikan semuanya dengan jelas.

"Sebelumnya abang ingin meminta maaf. Wallahi, aku tidak tahu kalau Oomar telah menyampaikan inginnya kepada kedua orang tuamu."

"Bukankah sebelumnya Abang telah bertemu dengan ayah dan bunda? Jadi kalian membicarakan apa?"

Semua aku benarkan, sebelumnya aku pernah berkunjung ke rumah Calla. Maksud itu pun telah kusampaikan namun pada kenyataannya orang tua Calla begitu sibuk dengan kegiatan mereka hingga belum sampai aku mengutarakan maksud kedatanganku mereka sudah harus meninggalkanku. Jika pada akhirnya untuk membuat janji dengan beliau tetap saja terjadi sisip selip, sebagai manusia biasa aku bisa apa?

"Waktu itu, demi Allah aku memang ke rumahmu. Namun, om Azrul sedang sibuk. Beliau menerimaku dengan baik hanya saja belum sampai aku mengatakan maksudku pekerjaan sudah memanggilnya untuk meninggalkanku segera."

"Setelah itu?" kejar Calla.

"Aku berusaha untuk membuat janji tapi kami selalu berada di persimpangan. Sampai dengan Oomar mengajakku untuk meminangmu tanpa memberitahukan siapa wanita yang diinginkannya."

"Mengapa tidak kau sampaikan saja bahwa kita telah membuat kesepakatan sebelumnya?" Aku menggeleng lemah dengan pertanyaan penuh tuntutan yang terlontar dari bibir Calla.

"Dek, maaf sebelumnya. Apa Dek Calla berpikir jika aku melakukan itu nanti akan melukai banyak hati?"

"Maksudnya?"

"Oomar, jelas akan merasa terkhianati. Kedua orang tuamu yang sepertinya menaruh harapan itu kepada Oomar, bukan aku."

"Lalu bagaimana dengan Abang? Dengan aku?" Aku terhenyak seketika. Selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana perasaan Calla kepadaku. Aku tidak pernah bertanya apakah dia menginginkanku sama seperti aku menginginkan dia menjadi kehalalan untukku atau tidak. Aku tidak pernah tahu.

"Menurutmu? Apa aku harus maju sekarang? Bagaimana dengan Oomar, kedua orang tuaku, orang tuamu?"

"Bukankah kehidupan nanti kita yang menjalani, Bang. Mereka pasti akan memahami." Aku mendesah, tidak segampang itu Calla. Oomarku pasti akan melalui kegetiran yang teramat sangat. Orang tuaku tidak akan memihak salah satu di antara kami berdua. Andai pun kamu menolak Oomar mereka juga tidak akan menyetujui langkahku untuk maju.

"Orang tuaku pasti tidak akan setuju."

"Abang belum mencoba kan?" Aku menggeleng. Jangan pernah bertanya seberapa cinta aku pada makhluk Allah yang kini ada di hadapanku hanya saja aku berpikir panjang untuk kebaikan semuanya.

"Aku belum bicara kepada orang tuamu, pun demikian halnya kamu, Dek. Bukan karena memilih sebagai pengecut namun lebih baik jika kita bisa menjaga semua hati. Aku, kamu, kita, belum ada hubungan apa pun. Belum ada rasa sayang bahkan cinta, mungkin sebatas saling kagum." Aku mendesah pelan. Berat, mengatakan sesuatu yang bahkan tidak ingin aku ucapkan seumur hidupku.

Perasaan itu mungkin belum ada dalam arti kata karena halal belum teraih. Namun, aku bisa memastikan bahwa cinta telah tumbuh dengan begitu sempurna di hatiku. Mengalahku karena sungguh aku sangat mencintai-Mu, Rabb. Tidak ingin membuka gerbang permusuhan dengan saudaraku. Tidak ingin membuat luka untuk kedua orang tuaku terlebih membuat jarak antara Calla dengan kedua orang tuanya.

Semua telah kutimbang dengan baik. Mungkin jika bukan dijodohkan di dunia kelak di akhirat Allah akan menyatukan kami karena cintaku kepada-Nya.

Dengan napas berat akhirnya aku berkata, "Bismillah, dengan banyak pertimbangan pada akhirnya aku memilih untuk mundur, Dek Calla."

"Bang Zaqi yakin?" tanya Calla seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku mengangguk meski hanya pelan. "Bukan berarti aku bisa menerima Oomar setelah ini."

Aku pasrah, itu hak Calla sepenuhnya. Tidak ingin mengatur terlebih mengintervensi apa yang akan menjadi keputusannya. Bagiku melepaskan Calla adalah terbaik untuk kami meskipun terkadang egois itu dibutuhkan supaya kita tidak selalu dalam kubu minoritas yang seolah terkalahkan, bukan. Lebih karena sesungguhnya aku tahu apa konsekuensinya jika aku tetap melangkah. Tidak sanggup aku kehilangan Oomar, telebih ayah dan ibuku. Aku masih butuh mereka.

"Aku pamit Bang, terima kasih untuk luka yang Abang berikan. Semoga bahagia dengan pilihan Bang Zaqi nantinya. Setidaknya jangan menjadi seorang pengecut dalam sebuah pertempuran. Bahkan malaikat melaknat pada pria yang lari dari peperangan." Calla melesat hilang dengan menyembunyikan air matanya.

Ini terlalu menyakitkan, sakit teramat sakit. Mendengar Calla yang mengatakan, menamparku dengan kata-katanya. Sepengecut itukah aku?

Jihadku bukan hanya memperjuangkan Calla untuk menjadi milikku. Jihadku juga termasuk dalam birrul walidain dan mempertahankan ukhuwah islamiyahku.

"Maafkan aku Calla, mungkin sekarang kamu melihatku sebagai pengecut. Tapi percayalah, tidak ada niat dalam hatiku untuk melakukan itu. Kamu sakit, aku lebih daripada itu." Aku bergumam, kemudian mengikuti langkah Calla meninggalkan cafe ini.

Kini saatnya aku memupuk kembali kepercayaan diri Oomar. Dia membutuhkanku, walau sejatinya aku membutuhkan waktu lebih untuk diriku sendiri. Naif, bermuka dua, pengecut atau apalah namanya itu. Sebut saja seperti yang kalian mau. Aku hanya ingin membahagiakan orang-orang yang kusayangi dengan caraku mencintainya.

"Abang dari mana? Tumben pulang ngajar telat?"

"Ada urusan sedikit. Kamu bagaimana? Calla sudah memberikan jawaban?" Oomar menggeleng lemah. Aku duduk di sampingnya. Megusap bahunya, "laki-laki itu harus kuat. Andai pun Calla menolakmu, masih banyak wanita yang siap melengkapkan setengah imanmu."

"Tapi belum tentu aku mencintainya, Bang. Seperti hatiku telah menaruhkan harapnya untuk seorang Calla Vyandinashini."

"Cintailah Tuhannya melebihi makhluk yang diciptakanNya. Ikhlas itu nanti akan menjadi pilihan. Allah pasti memilihkan yang terbaik di antara paling baik." Aku menutup nasihat yang sejatinya kutujukan untuk diriku sendiri.

Menatap Oomar itu seperti halnya berkaca di depan cermin. Menyakitinya sama halnya seperti menyakiti diriku sendiri. Tidak, itu tidak akan pernah ku lakukan.

----------------------------------------🚲🚲

__to be continued

Blitar, 17 Januari 2022

𝐒𝐮𝐦𝐩𝐚𝐡, 𝐤𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚𝐢-(𝐌)𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang