Moses

16.3K 3.6K 602
                                    

"Semua baik-baik saja, Komandan?"

"Komandan apaan," Aswin menepuk punggung Sulis, sahabat lamanya. "Terima kasih, loh, sudah menemani." Lalu berjalan bersamanya menuruni eskalator.

Keadaan rumah sakit tidak lagi terlalu ramai di malam hari ini. Selain beberapa perawat dan Sulis, sahabat sekaligus mantan bawahannya di kepolisian, Aswin nyaris tidak melihat siapa-siapa lagi di kasir pengambilan obat.

Sulis mengamati dengan senyuman kecil, saat Aswin menanyakan ke apoteker apakah mereka bisa mempercepat penyerahan obatnya. "Nggak sabar, ya? Mau pulang makan malam?"

Aswin mengangguk lemah.

"Jadi lebih seru, ya, semenjak Dani pulang ke rumah?" selidik Sulis lagi. "Yaaaa, memang begitulah anak-anak. Kadang nyusahin, kadang bikin pusing, tapi kalau nggak ada mereka malah aneh."

"Ini lagi ngomongin Sersha?"

Sulis tertawa. "Nasib kita beda tipislah, Bang. Sama-sama punya anak perempuan yang terlalu mandiri dan kuat. Kadang, kita jadi merasa nggak berguna ya?"

"Saya cuma bisa bilang: jangan jadi seperti saya."

Sulis mengulum tawanya, masih menanti kelanjutan kalimat sang mantan komandan.

"Kamu bisa jadi ayah yang lebih baik dari saya," lanjut Aswin. "Sebelum terlambat."

"Nggak ada kata terlambat, Bang. Dani sudah kembali ke rumah, tinggal Abang saja yang harus pulang," Sulis menekan bahu Aswin dengan lembut. "Di dunia ini nggak ada istilah ayah baik atau anak baik. Kita semua nggak ada yang baik. Kita semua salah. Yaaaa begitulah keluarga—satu-satunya tempat yang masih sudi menampung kita walau penuh salah. Makanya, Bang, pulang."

Pandangan mata Sulis terkunci ke belakang bahu Aswin. Bibirnya menyungging senyum.

"Mungkin dia bisa antar Abang pulang." Serunya kemudian.

Aswin mendongak mencari mata Sulis, lalu menoleh lelah ke belakang untuk mencari tahu ada apa di sana.

Di pintu masuk, Sergio Moses Adikara mengangguk sopan dengan punggung membungkuk kecil.

"Kamu yang kasih tahu dia?" Aswin mendecak.

"Dia telepon saya, si Bang Preman ini, dan tanya banyak soal Abang. Ya saya kasih tahu lah, Bang, soal Abang berobat di mana, sakit apa, dan sekarang ada di mana. Dari dulu saya memang informan yang paling bocor, kan? Makanya gagal jadi BIN." Sulis tertawa lepas seraya memberi tepukan di pundak Aswin. "Saya pulang dulu, Bang. Salam buat keluarga."

***

"Kamu nggak perlu melakukan ini," Aswin mendelik kesal saat Sergi membukakan pintu mobil untuknya. "Saya masih punya tenaga kalau cuma buat buka pintu."

"Maaf." Lalu mengangguk canggung.

Di dalam mobil, keduanya tidak bersuara. Sergi menyetir dengan tenang dalam kesunyian tanpa musik ataupun deru mesin. Kadang-kadang, hanya terdengar gemerisik suara plastik pembungkus obat yang dibawa Aswin.

"Kamu nggak bilang ke siapa-siapa, kan?" tanya Aswin.

"Enggak, Om."

"Terima kasih, kalau begitu."

Sergi berdeham sedikit sambil mengusap setir kemudinya dengan jempol. "Hmmm ... Om keberatan nggak, kalau saya ajak ke satu tempat dulu?"

"Ke mana?" Melihat Sergi yang hanya terdiam tanpa jawaban, Aswin langsung mendesah. "Kalau ini soal sinshe atau pengobatan alternatif—"

"Bukan, Om." Potong Sergi gugup.

"Jadi ke mana? Peramal?"

***

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang