Bintang Polaris

16K 3.1K 613
                                    

Desember tidak pernah bersahabat bahkan di awal bulan. Hujan deras mengguyur Minggu pagi ini, saat Dani berlari kecil dengan sebuket karangan bunga di pelukannya. Ia memasuki lift dengan bahu basah tersiram hujan, lalu naik ke lantai tujuh tempat Nia dirawat.

Nia, salah satu sahabatnya sejak kecil, baru saja melakukan persalinan mendadak di tengah malam. Ketubannya pecah. Untung saja kehamilannya sudah memasuki minggu-minggu terakhir, jadi kondisi ibu dan bayinya sehat sempurna.

"Daniiiiiii, peluk gue, gue mau nangiiiiisss!" Nia yang duduk menyandar di ranjangnya, langsung membuka kedua lengannya lebar-lebar menyambut kedatangan Dani.

Dani tertawa, tapi terlebih dahulu menghambur ke pelukan Adam—suami Nia—yang sudah menunggu di tengah ruangan.

"Selamat ya, Dam." Dani memberinya ucapan selamat yang paling tulus. Ia ikut bahagia, mengingat sudah lima tahun pasangan ini menantikan kehadiran jabang bayi. "Baby boy-nya lucu banget. Nggak sabar pengen meluk!"

Adam memeluknya erat, lalu mengurai pelukan mereka dengan senyuman bangga. "Thanks, Dan. Ayah Ibu sehat?"

"Sehat. Mereka nitip salam buat kalian berdua."

Nia menghentak-hentakkan kaki masih menunggu pelukan. Begitu Dani berlari memeluk tubuhnya, perempuan itu sontak menangis.

"Lebay deh." Dani mengusap punggung Nia sambil tertawa. Sejak dulu Nia memang sahabatnya yang paling perasa. Dia bisa menangis tanpa henti hanya karena mengenang adegan drama Korea yang sudah ditontonnya bulan lalu, atau karena stok susu di kulkas sudah habis dan dia merasa jadi istri paling tidak berguna sejagat raya. "Udah, nggak usah nangis."

Adam berpamitan untuk menjenguk bayi mereka di kamar bayi, dan membiarkan sang istri menghabiskan waktu bersama Dani.

"Kayaknya ini gara-gara baby blues. Nangis terus." Nia mengusap kedua matanya dengan tisu. Butuh lima menit untuk meredakan tangisannya.

"Nggak ada baby juga hobi elo emang nangis."

"Daripada elo? Hobi nangkep cicak!"

Tawa keduanya mengisi sudut kamar ini.

Nia tersenyum menggenggam jemari Dani. "Can you believe it? Gue akhirnya jadi ibu. Selamat datang malam-malam tanpa tidur, mata panda, dan payudara kendor."

"Ntar juga biasa. Ya ampun, Nia, jangan bilang lo mau nangis lagi."

"Hidup gini amat ya, Dan? Terus berjalan, dan segalanya bisa berubah drastis dalam sekejap mata." Nia menunduk untuk menyeka sisa ingusnya. Kemudian menengadah untuk memandangi Dani dalam-dalam. "Elo, gimana?"

"Gue sih belom mau hamil." Dani merebakkan tawa kencang.

"Maksud gue ... ya, elo tau."

Tawa Dani berubah menjadi senyuman. Lalu perlahan-lahan ia menunduk mengamati tautan jemari mereka, semata karena ia menghindari serbuan tatapan Nia.

"Udah lima tahun, Dan." Bisik Nia hati-hati.

Sebenarnya Nia, atau siapa pun juga, tidak perlu memasang sikap hati-hati seperti ini. Karena selama lima tahun ini, tatapan mata mereka, sikap canggung mereka, sudah meneriakkan kata-kata itu jauh lebih lantang daripada bibir mereka yang tidak berucap.

"Elo ... nggak mau move on?"

Sungguh Dani bosan menghadapi pertanyaan yang sama, terus-menerus, selama empat tahun belakangan ini.

Nia mempererat genggamannya. Seakan takut Dani akan melarikan diri saat itu juga. "Rion pasti nggak akan tenang di sana, kalau liat elo kayak gini."

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang