Nostalgia Manis

14.6K 3.5K 779
                                    

Dalam diamnya, Sergi duduk di kursi mobil, memandangi gedung Primrose di depan sana.

Walau Aswin Affandi tidak memberitahunya, tapi Sergi tahu pria itu ingin merahasiakan penyakitnya dari Dani dan Tante Indah. Perasaan Sergi bercabang, antara hendak menghormati keputusan Aswin, atau segera memberitahukan Dani agar setidaknya keluarga itu memiliki satu kesempatan terakhir untuk bersatu.

Kaca jendelanya diketuk dan ia menoleh kaget.

Buru-buru dimatikannya mesin mobil untuk turun menemui Bu Retno.

"Kebetulan saya lihat kamu," Bu Retno yang sudah berpakaian rapi melemparkan senyuman. "Kenapa nggak masuk ke dalam? Dani sudah datang sejak pagi."

"Lebih baik saya nunggu jam makan siang."

"Kenapa? Mau ada kiriman truk makanan lagi?"

Sergi tertawa canggung. "Maaf, yang waktu itu merepotkan."

"Tidak sama sekali," Bu Retno menarik napas panjang dan ikut memandangi gedung Primrose miliknya di depan. "Saya masih menunggu kapan Dani bakal bicara dengan saya. Bukan hal yang mudah, tentu saja."

"Bu Retno."

"Ya?" Wanita itu menoleh.

"Menurut Bu Retno ...," Sergi terdiam lama, lalu memutuskan bahwa bukan hal bijak untuk meminta saran dari Bu Retno mengenai penyakit Aswin. "Saya cuma mau berterima kasih karena Bu Retno sudah mengawasi Danika untuk saya."

"Hus. Saya tidak mengawasi siapa-siapa," Bu Retno tertawa. "Memangnya saya CCTV?"

"Maaf."

Sang pemilik Primrose memandangi Sergi dengan senyuman tertahan. Terhitung sejak dua hari lalu saat pemuda itu meneleponnya mengajak ngobrol dan bertanya-tanya soal Dani, ia tahu ada yang terjadi di antara dua anak muda itu. Namun, ia juga tahu, jalan yang harus ditempuh Sergi barangkali tidak akan semulus saldo rekening banknya. Dani itu seperti majalah tersegel plastik. Terlihat indah dan menarik dari luar, tapi kita tidak bisa melihat isi di dalamnya.

"Bersabarlah," Bu Retno mengangguk pada Sergi. "Sedikit lagi."

"Maksudnya?"

"Batu yang paling keras sekalipun, bakal berlubang juga jika terus-terusan ditetesi air. Yang Dani perlukan saat ini bukanlah seseorang yang memberinya nasihat harus ini - itu, atau yang memaksanya untuk melangkah maju. Dia cuma butuh teman bicara dan pendengar yang baik."

"Saya cuma sedih, karena dia dan orang-orang yang dia sayangi terus menyalahkan diri sendiri."

"Semua orang punya fase dalam berduka. Ada yang butuh waktu lama untuk menyangkal, marah, dan menyalahkan diri sendiri. Kita nggak bisa mencegah cara mereka memproses kesedihan. Perlahan-lahan, jika hati itu sudah terasa siap, mereka sendiri yang akan berdamai dengan rasa sedih. Mereka nggak minta banyak, Sergi, cukup kamu temani saja."

***

Wajah Dani berubah cerah begitu melihat Sergi sudah berdiri menunggunya di lobi Primrose.

"Jadi ini sebabnya Bu Retno tahu-tahu memperlakukan aku lebih spesial, dengan mengizinkan aku lunch lebih lama?" sapa Dani. "Aku mulai curiga jangan-jangan kamu punya saham di Primrose."

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz