Malam Duka

15.2K 3.2K 642
                                    

"Itu siapa?" Ibu gemetar di dalam pelukan Dani.

Ayah berdiri tidak jauh dari tempat tidur, memandang mereka dengan tatapan sayu.

Dani bersyukur kamar tidur orang tuanya masih gelap, hingga mereka tidak perlu menangkap perubahan di rona wajahnya. Serangan panik, perut mual, otot-otot mengencang. Ia ingin muntah.

"Itu siapa?" Ulang Ibu lagi.

"Cucunya salah satu tamu Primrose. Kebetulan dia anterin aku pulang."

"Ibu kira dia Rion." Ibu terisak gemetar. "Maafin Ibu."

Dani menggeleng. "Nggak ada yang harus minta maaf. Itu cuma kesalahan kecil."

Ibu memeluk Dani kian kencang dan tersedu dengan suara yang menyayat hati. "Ibu rindu anak Ibu."

Dani memejamkan mata, giginya bergemeletuk, tubuhnya gemetar. Setengah mati ia berusaha untuk tetap bertahan di sana demi memeluk Ibu, walau kedua kakinya ingin berlari jauh meninggalkan semua ini.

***

Dani berusaha menjalani harinya seperti biasa. Kantor telah resmi melepasnya dan kini ia mengabdi full time di Primrose. Lima hari telah berselang sejak kejadian di dapur itu, tapi hatinya belum baik-baik saja.

"Beneran nih? Elo nggak keberatan tinggal sendiri selama seminggu? Jay ternyata serius mau ngajak gue naik cruise. Elo nggak pa-pa?" Siang itu Felis terus membuntuti Dani sampai mereka tiba di taman Primrose.

"Mau pergi sebulan - setahun juga boleh." Dani berjalan panik mencari-cari sosok Bu Firda di taman itu. Staf tidak berhasil menemukan sang tamu baik di tempat gym maupun kantin, juga di kamarnya sendiri.

Tapi Felis tampaknya tidak terlalu peduli. "Gue udah siapin temen buat lo. Berhubung kencan lo waktu itu gatot—gagal total, dan Nia juga pasti lagi sibuk ngurusin baby bluesnya, lo pasti kesepian. Nah, Jay punya temen—"

"Fel," Dani memandangnya tegas. "Gue nggak mau."

Cukup sudah. Kencan, bertemu dengan orang baru, apa pun itu namanya, adalah ide buruk.

"Tapi lima hari lalu, elo mau tuh blind date sama Francis Adikara—walaupun hancur total."

"Itu lain soal, oke? Gue ditodong sama Ibu Ratih dan gue nggak punya pilihan."

"Kalau gitu anggap aja kenalan sama temennya Jay juga karena ditodong dan nggak punya pilihan. Gampang, kan?"

Dani berhenti sebentar. Sosok Bu Firda yang dicarinya ternyata ada di bangku taman dekat dinding gedung, sedang membaca buku dengan tenang.

"Temannya Jay ini—"

"Kenapa sih, semua orang selalu menganggap mereka paling tau apa yang gue butuhkan?" Dani berbalik menghadap Felis. "Seakan mereka paling tahu apa yang gue rasakan."

Bibir Felis merapat. Sudah sejak lima hari ini sikap Dani berubah. Perempuan itu lebih pendiam, suka menghindar dan melamun seorang diri. Hari ini Dani lebih sensitif dan pemarah, tidak seperti biasanya.

"Kalian nggak tau apa yang gue rasakan, jadi jangan sok sibuk ngurusin kebutuhan gue." Tegas Dani lagi.

Ketegangan di antara mereka akhirnya meledak juga, setelah empat tahun Dani mencoba menahan diri dan menyembunyikan semua rasa kesalnya.

Namun, Felis tidak gentar. Jika Nia selalu memakai cara lembut yang jelas-jelas tidak berhasil, maka biar ia saja yang jadi the bad guy—si tokoh jahat menyebalkan yang menggunakan cara kasar.

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Where stories live. Discover now