Patah Harap

14.1K 3.3K 1K
                                    

warning 🔞

***

Satu jam sebelumnya,

Sergi mendorong pintu dan membantu Lana menyeret masuk kopernya. Lampu di dalam unit apartemennya langsung menyala secara otomatis, menampilkan penampakan tempat tinggal Sergi yang masih sama persis seperti terakhir Lana ingat.

Rapi, minimalis, minim perabotan. Lana bahkan masih ingat ruang tamu dengan layar TV raksasa itu, yang dulu selalu menjadi tempat ternyamannya untuk duduk menonton bersama Sergi.

"Aku bisa tidur di sofa." Sofa Sergi besar dan nyaman.

"Enggak. Kamu tidur di kamar aku aja." Sergi mendorong koper itu hingga ke dalam kamar tidurnya.

Lana mengekor dari belakang. Kamar tidur itu juga masih terasa familiar, dinding kaca full dua sisi di depan dan kiri tempat tidur yang menawarkan pemandangan gedung tinggi di sekeliling. Seprai warna abu, meja nakas yang nyaris tanpa barang, lemari pakaian seluas dinding dengan pintu geser kaca gelap, dan sebuah meja tulis yang ditumpuki susunan buku-buku rapi.

"Untuk sementara kamu tinggal di sini. Aku akan konsultasi dulu dengan pengacara untuk cari jalan keluar terbaik. Jangan pulang ke studio kamu, setidaknya untuk sementara. Dan jangan temui Farel dulu." Kemudian Sergi melirik arlojinya dengan cemas—seperti yang dilakukannya mulai dari ruang praktik dokter hingga di mobil dalam perjalanan menuju kemari.

"Kamu tidur di mana?" Lana mengira Sergi akan menjawab kamar tidur satu lagi—kamar tamu yang biasanya sering dijadikan tempat menginap Om Brama, tapi rupanya Sergi sama sekali tidak ingin tinggal di sini.

"Aku nginep di tempat Om Brama aja." 

Lana sedikit terkejut. "Kenapa? Ini apartemen kamu."

Sergi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, berdiri tegap dengan ekspresi penuh pertimbangan. Sekali melihat saja Lana sudah langsung mengerti, pria ini hanya terlalu sopan untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia tidak nyaman mereka tinggal berdua.

Segalanya memang telah berubah.

"Kalau kamu butuh sesuatu, telepon aku. Kalau ada barang yang mau kamu ambil di studio, beri tahu aku, pokoknya jangan ketemu Farel."

"Kamu mau ke mana?" Sergah Lana begitu Sergi berbalik badan.

"Aku harus pergi."

"Ini sudah malam." Lana ingin Sergi menemaninya di sini. "Bisakah kamu di sini aja? Ngobrol-ngobrol sama aku. Temenin aku."

Pria itu menatapnya serba salah. Kemudian lagi-lagi melirik jam dinding dengan ekspresi yang semakin kalut. Jika ada sesuatu yang masih tertinggal di antara mereka yang tak lagi memiliki romansa ini, maka itu adalah kontak batin. Meskipun sepertinya kontak batin itu hanya berjalan satu arah. Alias hanya Lana yang tahu segala yang ada di kepala Sergi.

"Kamu mau menemui seseorang?"

Sergi mengangguk.

Pertanyaan setelah ini, butuh keberanian ekstra. "Perempuan?"

"Iya." Sergi mengangguk lagi.

"Kamu suka dia?"

Sergi tidak menjawab, meski juga tidak melarikan matanya ke tempat lain untuk menghindar. Sontak Lana pun tersenyum pahit. Betapa ia berharap Sergi dapat berbohong padanya sekali ini saja, untuk sekadar melambungkan harapannya yang sudah lama mati. Namun, ketiadaan jawaban justru adalah jawaban yang paling jelas.

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Where stories live. Discover now