Lari, Lari!

14K 3.4K 471
                                    

"Nanti kalau udah beres, aku balikin sepatunya."

"Jangan. Itu memang buat kamu."

"Tayo, ini Air Zoom."

Air muka Sergi menunjukkan bahwa ia bingung memangnya kenapa jika Air Zoom, sementara air muka Dani diliputi rasa sungkan karena ia tahu harganya yang mahal.

Akhirnya Sergi mengalah. "Simpan di mobil aku aja."

Dani mengenakan sepasang sepatu larinya dengan senyuman tidak percaya. Tentu saja ia masih tidak percaya, bahwa pada malam hari menjelang pukul tujuh ini, Sergi membawanya ke stadion olahraga, tepatnya di lintasan atletik. Tak lupa Sergi juga membelikannya sepatu lari baru.

Cuaca pun seakan mendukung aksi spontanitas mereka. Hujan yang tidak berhenti mengguyur sejak pagi hingga siang tadi, sama sekali tidak menurunkan rintiknya hingga detik ini. Lintasan lari di depan mereka sudah sangat kering.

Yati dan Rhoma terkurung aman dalam akuarium, diletakkan di salah satu kursi tribun dekat lintasan. Yati masih berlari kesetanan di rodanya, sementara Rhoma setia bersembunyi di dalam rumah-rumahan kayu, barangkali takut pada Yati yang lebih agresif.

"Kita seriusan bakal lari dengan pakaian begini?" Dani menertawakan kaos serta celana jinsnya, lebih tertawa lagi pada kemeja dan celana kerja Sergi.

"Ya," Sergi tersenyum sambil mengaitkan tali sepatu olahraganya sendiri. "Janji ya. Lari yang kencang, sampai napas kamu habis kalau perlu."

Dani tidak terlalu menggilai olahraga. Terkadang ia bisa sangat rajin berkeringat di gym, tapi terkadang pula ia bisa menjadi sangat malas dan semangat sodanya menurun drastis.

Malam ini, ia sedang sangat penuh antusias.

Sergi mendahului Dani menuju garis start di lintasan. Sambil membungkuk, ia memandang lekat pada Dani yang sedang mengikat rambutnya di kejauhan sana. Sekilas Dani menoleh dan tatapan mereka bertemu. Hanya semudah itu satu tarikan napas Sergi tercuri.

Dasar, cemooh hatinya sendiri, jangan malu-maluin.

"Siap?" Sergi mulai berancang-ancang begitu Dani sampai di tempatnya. Di hadapan mereka, para pegiat lari sudah mulai memenuhi lintasan. "Kalau sudah siap—"

Dani melesat mendahuluinya.

Sempat terpaku beberapa detik, Sergi segera menghentakkan kaki menyusulnya.

Angin malam berembus kencang menerpa tubuhnya ketika sepasang kaki itu berlari sekencang mungkin, semakin lama semakin kencang, sampai akhirnya ia berhasil mengejar Dani. Dipalingnya wajah itu mengintip pada Dani. Perempuan itu berlari dengan senyum penuh antusias, kaos di tubuhnya seolah melekat melawan arus angin.

Beberapa manusia dengan pakaian lari sudah didahului oleh mereka, tapi Dani sama sekali tidak memperlamban lajunya. Ia berlari kian kencang, seakan dalam setiap tarikan tenaganya, ada sesuatu yang ia lepaskan. Seolah semakin kencang larinya, semakin banyak yang ia lepaskan.

Sergi memperlamban lajunya dan membiarkan Dani mendahuluinya di depan. Mata-mata pegiat lari dan penonton yang duduk di tribun mulai mengikuti Dani—si pelari kesetanan yang memakai kaus dan jins.

Satu putaran 400 meter telah diselesaikannya. Dani berhenti di garis finish, membungkuk meraup udara sebanyak-banyaknya, lalu mulai berlari lagi sebelum Sergi mencapai tempatnya.

Dani terus berlari. Lari, lari! Melawan arus angin yang mendorong tubuhnya dengan kencang. Ia berlari menatap lurus ke depan, melesat melewati banyak orang yang mulai terpaku menontonnya, semakin lama semakin kencang hingga paru-parunya mulai sesak.

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें