Bukan Berbeda

34 8 11
                                    

▷ || ◁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

▷ || ◁


Mutiara tersenyum jahil masih di posisinya. Ia yakin kali ini Bara tak mampu lagi berkata-kata. Biarpun mampu, mungkin hanya sekedar pengalihan. Namun apa ini? Bara justru mengikuti apa yang Mutiara lakukan. Ia ikut memajukan wajahnya, semakin mengikis jarak.

"Hm." Bara mengangguk. Tidak, bukan itu yang Mutiara harapkan. Akan lebih normal jika Bara memperlihatkan ekspresi jijik khasnya.

Jarak mereka terlalu dekat kali ini. Mutiara cepat-cepat beralih ke posisi semula. Gadis itu memalingkan wajahnya, ia tak mau Bara melihat ekspresi ketakutannya, dan mungkin sedikit salah tingkah.

Bara tersenyum tipis, sangat tipis nyaris tak kentara. Ia menghimpit dagu Mutiara dengan ibu jari dan telunjuknya, membuat iris mata mereka kembali bertemu.

Mutiara semakin takut. Bahkan telapak tangannya kini sudah dibanjiri keringat karena jantungnya yang memompa sangat cepat.

"Ssh...," ringis Mutiara yang otomatis menjauhkan wajahnya ketika benda dingin lembut menyentuh luka di dahinya, menimbulkan rasa perih yang nyaris saja Mutiara lupakan.

Ayolah, Bara hanya memberi sedikit sentuhan dengan kapas dan alkohol. Namun Mutiara justru memejamkan matanya. Entahlah, ia hanya merasa diperintah oleh situasi.

"T-tadi kamu bilang ada perlu sama aku, tentang apa?" Mutiara mulai membuka suara setelah beberapa detik, untuk sekedar mengalihkan keadaan canggung yang berujung memalukan.

Bara menatap Mutiara sebentar sebelum menjawab, "bokap Lo."

"Bilang ke dia gue pengen pindah kelas!" ucap Bara to the point.

Alis Mutiara bertautan ketika mendengar jawaban tak biasa keluar dari mulut Bara. Sejauh ini belum ada yang mengetahui siapa ayahnya itu selain staf pengajar dan petugas-petugas yang dipekerjakan di sekolahnya. Bahkan Ramida pun yang sudah menjadi sahabatnya selama tiga tahun tidak mengetahuinya.

"Gue gak salah denger? Padahal Lo saingan yang menarik, tapi sekarang enggak deh kayaknya. Cih, lemah Lo," ucap seorang gadis yang tiba-tiba muncul dan berjalan menuju tempat Mutiara dan Bara duduk, melipat kedua tangannya ketika sudah berada tepat dihadapan Bara.

"Ramida?" interupsi Mutiara. Ramida menengok ke arah gadis yang memanggil namanya itu, "hai Mut."

Bara berdiri ke hadapan Ramida, membuat gadis itu harus mendongak untuk menatap matanya. Karena memang Bara lebih tinggi darinya.

"Lo ngomongin diri Lo sendiri?" Bara terkekeh seraya berkacak pinggang.

"Maksud Lo apa?" tanya Ramida dengan suara rendah. Alisnya mulai bertautan.

Bara merogoh sakunya, mengambil kertas yang terlihat seperti sudah diremas sebelumnya. Ia merapikan kertas tersebut hingga bisa dibaca kemudian ia arahkan kepada Ramida.

Walaupun masih berada di tangan Bara, Ramida bisa membaca jelas isi kertas tersebut. Ia terkejut lalu merebut paksa kertas itu dari tangan Bara. Membacanya berulang kali, memastikan kertas berisi soal ujian itu benar miliknya.

Ramida menggeleng tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Bagaimana mungkin? Di kertas tersebut jelas menunjukkan nilai yang didapat Ramida yaitu, enam koma lima tidak kurang ataupun lebih.

Seperti halnya Ramida, Bara juga sangat terkejut ketika menemukan kertas tersebut di tong belakang sekolah yang nyaris saja dibakar petugas jika ia tidak mengambil lebih dulu.

Jika benar itu miliknya, lalu milik siapa kertas hasil ujian yang diberikan guru padanya dengan nilai sempurna. Mana yang asli dan sebaliknya?

Untuk saat ini air mata Ramida masih tertampung di pelupuknya. Dengan perasaan campur aduk, antara terkejut, sedih, malu, dan marah, Ramida memberanikan diri untuk menatap lekat mata Bara.

"Lo menang, Bara. Kemarin, sekarang, dan seterusnya. Lo selalu lebih unggul dari gue," ungkap Ramida dengan suara yang bergetar. Rahang Bara mengeras mendengar ucapan Ramida yang mengungkapkan bahwa kejadian itu bukan hanya terjadi kali ini saja, melainkan sudah tiga tahun terakhir.

Sorot mata Bara yang tadinya terlihat agak ragu, kini berubah. Ada rasa benci dan sedikit kecewa yang terasa mencekik pernafasannya.

Padahal Ramida adalah sosok yang yang ia kagumi karena kegigihannya. Yang sering kedepan untuk menyelesaikan soal adalah Bara, namun yang poin plus lebih banyak selalu diraih Ramida. Yang paling sering berinteraksi dengan guru adalah Bara, namun yang menjadi sorot perhatian gurunya itu selalu Ramida. Dan setelah terungkap ternyata tidak seperti yang ia pikirkan.

Bara mencengkeram kuat bahu Ramida dengan kedua tangannya serta menatap lekat mata gadis itu, "gue gak pernah bayangin kalimat itu terucap dari mulut Lo sendiri."

"S-sakit.. p-pah..." Tubuh Ramida bergetar serta keringat mulai nampak di sekitar wajah dan lehernya.

Bara tersadar. Ia melepas cengkeramannya tiba-tiba. Alisnya bertaut merasa ada yang aneh dengan apa yang Ramida ucapkan. Sorot mata yang penuh benci itu berubah, khawatir.

Tubuh Ramida ambruk, terduduk di lantai dengan tatapan lurus yang berbeda, yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun. Hening, hanya sementara. Karena setelahnya tiba-tiba saja Ramida menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangan.

"Aku gak sanggup pah. Aku anak bodoh. Mama gak akan pernah bangga sama aku!" teriaknya sambil menggelengkan kepala berulang kali.

Mutiara yang juga menyaksikan itu, segera merangkul Ramida. Ia rapikan rambut-rambut yang menutupi wajah Ramida kemudian menagkupkan tangan di pelipisnya.

"Ini aku, Mutiara," ucapnya yang berhasil membuat Ramida tersadar. "Ada aku, kamu bakalan baik-baik aja "

Ramida berkedip beberapa kali, berusaha menetralisir ingatannya. Ia menatap Bara yang juga tengah memperhatikannya sejak tadi. Gawat, Ramida tidak boleh dipandang lemah oleh orang lain. Itu yang selalu diajarkan ayahnya.

Tangan Mutiara Ramida singkirkan pelan dari wajahnya. "Hal itu gak menjamin, Mut."

Ramida berlari keluar ruangan tersebut. Air mata yang sempat tertampung itu kian jatuh, membuat Ramida harus menyeka cairan tersebut beberapa kali di tengah larinya.

Penglihatannya mengabur terhalang air mata serta kelopaknya yang mulai sembab, hingga tak sadar bahwa di depannya berdiri seorang siswa.

BUGH!!

"Lo?"

⇥ ▷ ⇤

SAY HELLOWW SABTU!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SAY HELLOWW SABTU!!!

tebak ra up part ini dimana?😽
gimana sama hari sekolah kalian? Gimana dengan Sabtu di minggu ini?

cerita ini belum masuk konflik gapapa ya..
soalnya biar bisa adaptasi lagi sama keseharian mereka
Sebenernya aku juga ngerasa alurnya lambat, sedangkan ntar konfliknya bakalan agak berat jadi mungkin jumlah part-nya bakalan banyak juga, kurang lebih 50 part? atau 100 part?😻

Gilaaakk kaliii seratus part konfliknya kek gimana😭

I Sea U and Paradise Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang