1 | Resign

10.4K 797 99
                                    

"Mbak, tau mas-mas yang namanya Lingga enggak?"

Pertanyaan Diah, pegawai paruh waktu baru di tempatku bekerja itu, membuatku akhirnya mengalihkan tatapan dari piring-piring kotor dalam bak cucian ke perempuan 19 tahun tersebut.

"Kok, tau Mas Lingga?" tanyaku balik.

Diah mengangkat bahu. "Tadi aku nguping, pas Pak Bos dan Mas Jodi ngobrol di dekat tangga. Katanya Mas Lingga itu mau nikah. Siapa, sih, dia?"

Aku tertawa pelan, sambil kembali mencuci piring. "Oh, itu mas-mas yang dulu katanya pernah kerja freelance di sini. Sering nyanyi, sesekali juga bantu nyiapin menu."

Aku meletakkan piring-piring bersih di rak sambil terus berbicara. "Ganteng, lho, orangnya. Suaranya bagus banget. Dia juga baik dan suka nolong. Cuman agak tertutup." Aku menatap Diah. "Maksudnya enggak terlalu suka banyak cerita. Kalau pas ngobrol bareng, dia banyak denger aja daripada ikutan nyumbang cerita."

Diah mengangguk-angguk sambil ber-oh panjang. Aku kembali menata piring-piring yang sudah bersih di rak sambil bertanya lagi, "Kenapa penasaran?"

"Ya, penasaran aja." Diah berjalan mendekat untuk membantuku. "Habisnya enggak pernah liat Pak Bos berseri-seri gitu pas ngomongin orang. Pasti spesial banget Mas Lingga itu, ya, Mbak?"

Aku terkekeh-kekeh. "Bener, Di. Mas Lingga itu katanya udah di sini sejak dia SMA. Tapi aku, kan, baru masuk dua tahun lalu, jadi ya kenalnya pas dia udah kerja di firma hukum gitu, dan enggak kerja di sini lagi. Cuman dia masih sering mampir sama temennya, sesekali nyanyi tanpa dibayar. Suka-suka gitu, deh."

Diah kembali ber-oh sambil menata piring-piring bersamaku. Setelah selesai dengan aktivitas tersebut, kami berdua keluar untuk menuju ke ruang karyawan. Ada briefing sebelum pulang. Waktu memang berjalan cepat sekali hari ini, tiba-tiba saja sudah hampir pukul sebelas malam.

"Nikahnya sama orang Solo juga, Mbak?" Diah bertanya lagi, sambil kami berjalan beriringan.

Aku mengangguk. "Sama Mbak Andin Pranoto."

Langkah Diah terhenti, membuatku tak sadar ikut berhenti berjalan. Aku menemukan ekspresi wajah Diah seperti orang kebingungan yang bercampur dengan rasa tidak percaya. Lucu. Dan itu tak sadar membuatku tertawa.

"Bukannya dia ... kalau enggak salah inget, ya. Itu bukannya bos pabrik kain yang di Grogol, 'kan, Mbak?" Diah menepuk tangannya sendiri, seperti orang yang baru ingat kalau istri Pangeran Harry itu namanya Meghan Markle.

Aku mengangguk sambil masih tertawa. Kami mulai berjalan lagi menuju ruang karyawan diiringi pertanyaan 'kok bisa' berkali-kali dari Diah. Perempuan itu terus memberondongku pertanyaan tersebut sampai kami tiba di ruang karyawan, membuat Mas Jodi memukul pelan keningnya dan Pak Bos melemparinya dengan tatapan kesal.

Diah selalu berisik, tetapi dia yang memiliki karakter ramah dan ceria itu bisa membuat suasana di kalangan karyawan lebih segar. Selain itu, sebagai seorang pelayan, dia yang ramah bisa membuat banyak pelanggan nyaman dan senang berada di tempat kami bekerja ini, kafe Tiga Tjeret.

Briefing sebelum pulang seperti biasanya selalu penuh dengan keakraban. Kami akan mengeluhkan beberapa pelanggan yang menyebalkan, hari-hari yang berat, atau sekadar mengejek satu sama lain dengan ejekan yang lucu.

Aku menatap rekan-rekan kerjaku dengan senyum bahagia. Senang mengenal mereka selama dua tahun ini. Bagiku mereka seperti keluarga yang akan siap membentangkan lengan, meski aku datang dalam keadaan membawa beban banyak sekalipun. Mereka pasti akan memelukku dengan hangat, serta menawarkan bantuan untuk membawa beban tersebut.

Rasanya sedih, mengingat bahwa kebersamaan tersebut tak akan bisa kupeluk selamanya. Memang benar adanya, bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Aku menghela napas dan mengangguk, saat Pak Bos melirikku dengan tatapan meminta izin untuk menyampaikan sesuatu.

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now