"Anjay!" Sontak Gata tertawa dan bertepuk tangan heboh. Sesekali melirik Alfa dan memegang perutnya karena sakit akibat terlalu hanyut dalam tawa. "Najis, drama! Gak pantes lo ngomong kek gitu."

Alfa berdecak sebal. Tapi tetap tersenyum tipis setelahnya. "Udah cocok belum gue jadi pemain utama sinetron Indosiar?" Alfa menaik-turunkan dua alisnya.

"Cocok!" Gata mengangguk seolah setuju dengan perkataan Alfa. "Muka lo udah mirip om-om di Indosiar yang tukang selingkuh."

"Ye, bangsat!" Alfa menarik buku fisika Gata dan menggunakannya untuk memukul lengan Gata cukup keras.

Gata meringis, tentu saja.

"Lemah! Baru dipukul gitu udah desah, belum gue apa-apain padahal."

"Sakit serius ini, anjir!" sungut Gata sembari mengelus lengannya beberapa kali.

"Coba liat!" Alfa menarik tangan Gata paksa dan mengangkat seragam Gata yang berlengan panjang, membukanya hingga siku. Baru sampai siku, sebuah bekas berbentuk garis panjang berwarna ungu kebiruan menghiasi lengan Gata.

Alfa melebarkan matanya. "Ananda Gata Sugiono? Ini kenapa?"

Gata berdecak mendengar nama panjangnya disebut. Lantas ia menarik tangannya dan kembali membenarkan seragamnya. "Sugira, kampret! Ganti nama orang mulu lo."

"Gue nanya. Dijawab kek."

"Gak papa," jawab Gata singkat.

Sementara Alfa memutar bola mata malas. "Gak papa mulu. Basi!"

"Ya emang gak papa. Lo maunya gue jawab apa?"

"Jawab apa kek. Gak papa terus, kosa kata bahasa Indonesia kan banyak. Gak kreatif lo!"

Gata berdecak.

"Kenapa, sih?" tanya Alfa lagi. "Jawab gak papa lagi gue tabok muka lo pake pot gantung di depan koridor."

Gata menatap Alfa lelah. "Harus banget gue jawab?"

Alfa mengangguk. "Kita temenan udah lama. Kalo ada masalah cerita dong, gue berasa dijadiin pajangan selamat datang doang sama lo."

Gata berpikir. Ia memang tidak pernah memberi tahu Alfa tentang hidupnya, tentang keluarganya, atau sedih yang ia pikul sendiri. Haruskah ia berbagi? Tidakkah sia-sia karena pada akhirnya bebannya akan tetap menjadi beban Gata, sang pemilik awal. "Dipukul Mamah," jawab Gata kemudian.

"Hah?" Respon Alfa.

"Ganteng-ganteng kuping lo congek! Korek sono sebelum bel masuk!"

"Kok bisa? Lo durhaka kali sama Mamah lo," ujar Alfa lagi.

Apa benar Gata durhaka? Mungkin jika seorang anak tidak bisa memenuhi ekspektasi orangtuanya bisa disebut durhaka, pikir Gata. "Iya, kali. Nilai gue kecil mulu."

"Kecil apanya? Nilai lo di atas delapan lima semua kok, itu pun gue jarang liat lo dapet nilai delapan."

Gata tersenyum miris. "Jangankan nilai delapan lima. Sembilan lima aja gue kena pukul."

Kini Alfa terdiam. Sebenarnya Alfa sudah tahu perihal Ibu Gata yang memukul Gata dengan alasan yang bisa dibilang tidak masuk akal. Ia pernah dengar, sekali. Saat ia melakukan video call dengan Gata malam itu. Sambungannya belum terputus, hanya hitam yang menghiasi layar. Tapi jelas Alfa bisa mendengar semuanya. Tentang nilai, juga, pukulan dan makian.

Alfa hanya memancing Gata, agar laki-laki itu bisa memberitahunya secara langsung. Lukanya. Yang entah masih berdarah atau mungkin membusuk saking lamanya tak diobati.

RECAKAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt