4. Gadis bertemu Tyas

7 4 4
                                    

Mulai dari sini gue bakal sebut diri gue sendiri dengan 'aku' supaya kalian bisa nyaman denger cerita yang akan selanjutnya gue beritahu ke kalian. So, mari kita masuk ke inti cerita yang menjadi permasalahan di hidup gue.

Anjani seneng banget waktu dia tahu kalau aku dan Gadis sudah saling mengenal satu sama lain. Ia sudah memiliki rencana untuk membuat skenario agar nantinya aku dan Gadis bisa berkenalan. Menurut Anjani, Gadis adalah perempuan yang cocok untuk jadi pasangan aku nantinya.

Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan adikku yang paling besar ini, dia tidak mengerti jika semakin dewasa usia, semakin sulit juga menyederhanakan hubungan yang kita inginkan.

Setelah limabelas menit berkendara, aku dan Anjani sudah sampai di depan rumah. Rumah tampak gelap dan sepi ketika kami datang. Mungkin orang-orang udah pada tidur dan beristirahat. Aku dan Anjani lekas masuk ke dalam rumah, sembari membawa tas berisi peralatan Anjani les aku langsung melayangkan diriku ke sofa yang ada di ruangan keluarga.

"Mas mau bikin teh manis?" tanya Anjani sembari mengikat rambutnya yang sedari tadi ia biarkan terurai bebas.

"Boleh, pake air anget ya."

Anjani mengangguk paham, ia masuk terlebih dahulu ke kamarnya untuk berganti pakaian. Rumah terasa hening ketika aku melihat langit-langit yang mulai menguning. Menua. Aku pikir hanya manusia dan makhluk hidup yang dapat menua, namun langit-langit rumahku juga menua bersama dengan setiap orang yang mengisi rumah ini.

Aku bangkit dari sofa tempatku berbaring barusan. Entah kenapa setiap malam yang hening di ruang keluarga selalu mendatangkan rindu sama bokap dan nyokap. Aku pun beranjak menuju kamar mereka, sekedar ingin melihat apakah mereka udah tidur atau belum.

Aku berjalan perlahan, berusaha meminimalisir suara decitan kaki yang kuperbuat. Pintu kamar bapak sama ibu tinggal beberapa sentimeter lagi. Aku buka perlahan pintu yang sudah menutup itu, mencoba melihat mereka dari celah kecil yang kucoba usahakan.

Ibu udah tidur, pulas sekali disana. Mataku mengerling menatap ke arah sebelah kanan ibu, disana ada bapak yang juga sudah tertidur pulas menggunakan sarung yang mungkin baru ia kenakan solat Isya.

Tuhkan, jadi inget deh belum solat Isya.

***

Kadang aku ngerasa aneh, kenapa ngelupain solat lebih gampang daripada ngelupain kenangan yang dibuat oleh manusia. Padahal kenangan-kenangan yang kita buat sama manusia itu bisa terus diperbaharui dan gak akan berhenti hanya karena satu orang aja.

Aku masih sendiri itu bukan karena kebetulan aja. Seolah-olah Tuhan itu tahu kalau aku lagi butuh banget ditemenin seseorang yang bisa menopang aku ketika jatuh dan menampung aku ketika rapuh. Namun pada kenyataannya, aku adalah salah satu orang yang selalu merasakan manisnya pertemuan dan pahitnya perpisahan yang tidak pernah diinginkan.

Aku mengambil air wudhu untuk membasahi pori-pori wajahku yang sudah mongering. Kadang aku ngerasa malu dan gak berani buat sujud di sejadah yang bahkan belum pernah aku cuci semenjak satu bulan yang lalu. Penyesalan-penyesalan itu selalu muncul ketika aku hendak salat di malam hari seperti sekarang.

***

"Mas, teh angetnya Jani simpen di meja ya. Jani mau nugas dulu," ucap Anjani sembari mengintip dari balik pintu kamarku.

"Iya, simpen di situ aja. Makasih ya, nugasnya jangan sampe malem-malem."

"Iya mas, mas juga jangan kelamaan mikirin Kak Gadis ya?" goda Anjani.

"Udah sana anak kecil, nanti mas jewer loh," gerutuku menakuti Anjani. Anjani tersenyum sambil menutup pintu kamarku.

Aku tersenyum melihat tingkah adikku itu, dia cepat sekali tumbuh dewasa. Rasa-rasanya baru kemarin aku melihat dia belajar bernyanyi lagu Indonesia Raya, sekarang udah bisa memainkan berbagai macam instrument lewat piano yang sering ia rekam di ponselnya.

Jomblo a - CuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang