Prolog

93 34 32
                                    

Nama gue Apta dan gue sedang berada di fase 'sekarang mau ngapain lagi?' di umur gue yang udah masuk pertengahan dua puluh lima tahun. Gue hanya berhasil menamatkan sekolah sampai tingkat SMA dan memilih berjualan untuk menopang kehidupan dewasa awal gue.

Menjadi mapan adalah impian setiap anak laki-laki pertama di sebuah keluarga yang menaruh harapan tinggi pada anak sulungnya. Gue sebenernya gak terlalu obsesi banget buat dapet kerjaan kantoran atau kerjaan yang bisa membatasi diri gue untuk melakukan sesuatu yang gue pengen. Menurut gue, mapan dan gak mapannya seseorang gak dinilai dari pekerjaan yang dia peroleh.

Lebih-lebih gue emang gak punya relasi bagus buat bisa masuk ke perkantoran swasta atau pekerjaan lainnya yang minimal gak harus bikin gue keliling-keliling nawarin produk kayak sekarang ini.

Tapi gue seneng dan gak merasa ini sebuah kegagalan karena gue gak merasa dipaksa atau diatur siapapun ketika gue berusaha mengembangkan bisnis dagangan gue.

Perihal mapan dan tidak mapan bukanlah masalah utama yang pengen gue ceritain saat ini. Masalah umum yang sering muncul ketika usia kita sudah berada di pertengahan dua lima adalah masalah yang melibatkan perasaan orang lain.

Iya bener, gue udah diminta bokap buat segera cari pasangan.

Ini bermula ketika bokap ngerasa dia udah gak punya banyak waktu buat tetep bisa ada di dunia ini. Waktu itu di sebuah Jum'at malam, gue dan keluarga biasa berkumpul sembari nonton televisi di ruangan keluarga. Entah ada angin apa dan firasat darimana, bokap tiba-tiba bilang 'kayaknya bapak gak bakal lama lagi deh, mas' gue emang biasa dipanggil 'Mas' di rumah. Mungkin karena gue anak pertama dari empat bersaudara dan adik gue perempuan semua jadi orang-orang rumah menuakan gue dengan panggilan 'Mas'.

Gue kaget dong pas bokap bilang kayak gitu. Mana emang akhir-akhir ini kesehatannya lagi sering drop karena dia punya penyakit jantung yang beberapa tahun lalu pernah kumat dan membuatnya harus dipasang ring di jantungnya.

Setelah ucapan bokap yang bikin nyokap bilang 'hush! bapak kalo ngomong jangan suka asal begitu, gak baik' tiba-tiba bokap lanjutin omongannya.

'Bapak pengen Mas Apta cepetan nikah. Supaya bapak bisa hadir dan lihat langsung kamu sama istri kamu nanti, Mas.'

Semua mata melihat ke arah gue. Mulai dari nyokap, adek-adek gue sama bokap yang emang udah gak sesehat beberapa bulan yang lalu. Mereka ngeliat ke arah gue karena mereka tahu kalau gue gak pernah berhasil bertahan lama dalam satu hubungan sama perempuan yang udah sering gue bawa dan kenalin ke nyokap dan adek-adek gue.

Kalo gue itung, ada kali lima sampai enam cewek yang gue kenalin ke mereka dan semuanya hanya bertahan paling lama selama dua bulan. Selebihnya, ada yang ngilang, ada yang terang-terangan bilang gak mau sama gue, bahkan ada juga yang nolak gue hanya karena adek gue cewek semua.

Dia bilang 'pasti kamu tukang mainin cewek, adeknya aja semua cewek!' Sebuah konsep penolakan yang menurut gue gak bermutu dan gak ada korelasinya.

Setiap bokap bilang begitu, nyokap selalu nenangin dan bilang kalo gue juga lagi berusaha buat memperbaiki hidup gue. Meski sebenernya gak ada yang salah sama kehidupan gue, mengingat gue dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh bokap sama nyokap gue, namun seenggaknya gue pengen bisa ajak keluarga gue ini makan-makan tanpa mesti mencemaskan berapa tagihan dan cara bayarnya nanti.

Gue juga sadar, gueudah terlalu lama asyik dengan usaha yang lagi gue besarkan. Sampai-sampai gakinget kapan terakhir kali ngajak jalan cewek dan semacamnya. Dasar, jombloakut.

Jomblo a - CuteWhere stories live. Discover now