[38]

5.1K 523 432
                                    

Apa kabar, sayang? Udah makan belum?

Ayo spill love languagemu!

*

Hidup itu singkat, cuman lima huruf doang.

Itu kata-kata yang bakal kucantumkan di yearbook saat lulus nanti. Rencananya, masih rencana. Wacana tidaknya tergantung tangan Tuhan.

Tapi kuakui benar, hidup itu singkat, jauh lebih singkat apabila kita sudah mengalaminya. Tanpa disadari banyak sekali waktu yang dibuang sia-sia hanya untuk melakukan hal-hal tanpa guna untuk kita sesali di kemudian harinya. Yang namanya penyesalan memang diakhir, kalau diawal namanya permulaan. Tapi menyesali apa yang tidak kita lakukan jauh lebih menyakitkan daripada menyesali apa yang sudah kita lakukan. Tetap tergantung konteks permasalahannya.

Aku yang berpikir tapi tetap saja sekarang melamun di depan cermin dan meja serbaguna kamarku tanpa alasan jelas. Yeah, besok-besok mungkin aku akan menyesali ini.

Big Thanks buat Mamanya Bayu. Aku merasa sedikit tercerahkan.

"Aku akan menyesali ini besok tapi aku lebih menyesal mati tanpa melakukan apapun."

Di depanku tergeletak nota pembelian obat-obatan medis, dan pembayaran rumah sakit. Pantes tabungan buat jadi rich grandma berkurang. Ini aja notanya dapat hasil minta bibi di rumah Bayu ngambil diam-diam di mejanya. Paling ketahuan besok pagi, paling cepat nanti. Seenaknya banget dia nyimpan struk sepenting ini tanpa ijin.

Tapi kalau dipikir-pikir wajar sih, semisal ternyata 'aku' itu ceroboh maka pilihan tepat dipegang dia. Ini penting, tapi masalahnya seumur warisan buyutku tidak ada yang pernah mempunyai riwayat penyakit seperti ini.

Maksudku, lihat, gejala sesak nafas? Astaga seumur-umur aku belum pernah namanya memakai alat inhaler. Yang katanya nanti keluar asap-asapnya seperti di film-film? 

Kenapa aku mengambil struknya? Karna ada yang ingin aku periksa, selain harga of course. Tapi kalau dilihat dari harganya gak mungkin aku yang bayar sih. Ventolin sebiji aja seratus lebih. Pastinya uang tersebut tidak keluar dari dompet saya. Karna nominal didalamnya tidak sampai merah merona.

Iya, aku miskin. Emang kamu engga?

"Lagi ngapain?"

"Dion kalau mau masuk ketuk pintu dulu."

"Telanjur."

"Sembarangan."

Kadang anak kecil  satu ini mengerikan. Seperti Dion diam mengamati apa yang tengan kulakukan, menanyakan hal-hal yang aneh. Entah apakah itu aku yang terlalu banyak membaca novel-novel aneh atau memang kenyataan seperti itu. Dion terkadang terlihat seperti sosok dewasa yang nyangkut di tubuh anak kecil.

Jangan pedulikan teori aneh ini, pikiran anaknya memang sedikit bermasalah, mamaku yang malas mengeluarkan duit menolak untuk membawanya ke psikolog. Kalau kata kakakku, dia bukan 'bermasalah' hanya terlalu cerdas. Kembali ke fakta bahwa dunia ini asing dengan perbedaan bukan?


Tapi aku rasa, Dion hanya anak laki-laki biasa, hanya saja sedikit rese.


"Itu kotak buat apa?"

Aku melirik ke atas meja, menatap kotak sepatu yang berantakan khas orang yang sedang melakukan praktik prakarya ala anak-anak aesthetic meski jatuhnya seperti kapal pecah.

"Oh, lagi mau persiapan mudik."Aku menjawab tak acuh. Melanjutkan coret-coret di buku.

"Makanya ada peta?"

𝐑𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝐈𝐈Where stories live. Discover now