AD XXXVII

9K 1.3K 78
                                    

Pukul 22.00.

Nabila masih setia duduk di meja makan. Kehadiran Janendra hari ini membawa berita besar baginya, bahkan perkataan remaja lelaki yang tak lebih dari 10 menit itu masih menghantui pikirannya. Jangan tanya dampaknya, sangat besar bagi Nabila dan Sunghoon.

Ah Sunghoon yaa.. Nabila merasa lelaki itu menjauhkan diri darinya, tidak ada kemurkaan mendengar pengakuan Janendra siang tadi, lelaki itu lebih memilih diam.

Justru itu, itu yang menjadi pertanyaan Nabila, mengapa lelaki itu bahkan sama sekali tidak memperlihatkan emosinya?

Sibuk dengan lamunannya, ujung mata Nabila tak sengaja menangkap seseorang yang berjalan melewati dapur dengan keadaan rapi.

"Mau kemana?"tanya gadis itu, ia buru-buru mendekat.

"Nyari angin——ikut?"tawaran itu tentu diangguki oleh Nabila.

"Pake jaket sana, gue bawa motor"ujar Sunghoon membuat Nabila berlari kecil ke arah kamar, sedangkan lelaki itu menuju garasi.

Aerox 155 VVA itu membelah jalanan kota yang padat. Memang seperti itu nasib kota Metropolitan, tidak pernah tidur.

Cukup lama mereka menempuh perjalanan hingga secara tiba-tiba Sunghoon menghentikan motornya di sebuah jembatan yang cukup jauh dari pusat kota, hanya ada 1 atau 2 kendaraan yang lewat, sangat tenang dan cocok untuk dijadikan tempat menjernihkan pikiran.

"Dingin"ucap lelaki itu mengambil tangan gadis di sebelahnya lalu ia telusupkan pada saku jaketnya.

Dua insan itu berdiri di bibir jembatan, menyandar pada dinding beton pembatas, membiarkan semilir angin malam menerpa kulit wajah mereka.

"Dulu, waktu gue masih kecil, mama juga pernah kecelakaan"suara berat itu memecah keheningan, membuat Nabila mengalihkan atensi, menatap sisi kiri wajah suaminya.

"Nabrak orang sampe orang itu meninggal di tempat"

Kaget? Tentu! Bahkan sanking kagetnya Nabila berjengit dengan mata membulat.

"Mama dulu kerja jadi sekertaris papa. Pernah waktu itu mama gantiin papa yang gak bisa ketemu koleganya, tapi gak tau kenapa mama malah minum. Persis dugaan, mama kecelakaan di hari itu karena mabuk"Sunghoon yang sedari tadi menatap hamparan sungai di hadapannya, kini beralih menatap wajah Nabila yang hanya diterangi lampu jalanan.

Cantik

"Orang itu, bokapnya Jeno"Sunghoon tersenyum nanar, berbeda dengan Nabila yang hampir terjungkal ke belakang, bahkan gadis itu sempat mundur beberapa langkah.

Jeno. Lee Jeno.

Ntah mengapa mendengar nama itu jantung Nabila berdebar kencang. Lelaki itu, yang selalu ia elukan dan kagumi telah membuatnya kecewa.

Kehadiran Janendra tadi siang membawa fakta besar, lelaki itu mengaku sebagai adik dari Lee Jeno, yang berarti merupakan putra pertama sandara. Waktu itu Nabila hanya bisa menutup mulut dengan tangannya, rasa terkejut membuatnya tidak bisa berkata apapun.

Dan kalian tau fakta yang paling menyeramkan?
Ternyata, dalang dibalik kecelakaan yang dialami Margareta dan Anton adalah ulah Jeno dan Sandara, Janendra mengaku bahwa dirinya mendengar percakapan antara kakak tiri dan ibunya itu, motif mereka ada 2, pertama untuk menguasai harta Snton, kedua balas dendam.

Dan sekarang sepertinya Nabila tau alasan dibalik motif kedua mereka.

"Emm.. kenapa lo gak marah sama yang dibilang Janendra tadi?"tanya Nabila hati-hati.

"Walaupun disengaja, gue anggap ini timbal balik. Papa gue udah gak ada, impas kan?"Sunghoon tersenyum tipis.

Gila, semua ini gila.

"Janendra tau alasannya?"tanya Nabila lagi dibalas gelengan oleh Sunghoon.

"Dia cuma tau kalau nyokapnya ngambil bokap gue"jawab lelaki itu kembali menatap hamparan sungai.

"Gue bodoh, gak guna"kekehnya disertai bulir bening yang menetes, membuat Nabila menatap iba suaminya.

"Lo tau? Mama sama papa sering berantem itu karena gue"lanjut Sunghoon membuat Nabila mengernyit.

"SMP, gue baru sadar kalau mama hilang ingatan, jadi dia sama sekali gak inget kecelakaan itu.-

-Gue tau karena sering liat mama nangis sembunyi-sembunyi nyalahin papa yang nikah lagi. Bukti kuatnya, waktu itu gue sempet nemuin dokter Rey yang nanganin mama"

Sunghoon tersenyum getir, dia merasa tak berguna karena baru menyadari ibunya hilang ingatan waktu dirinya duduk di bangku kelas VIII SMP.

Anton? Jangan harap! Karena lelaki itu selalu sibuk dengan istri keduanya. Bahkan ketika Margareta keluar dari rumah sakit, asisten pria itu yang mengurus semuanya.

"Gue salah karena gak pernah bilang ke papa kalau mama hilang ingatan, juga gak pernah bilang ke mama kalau sebenernya papa nikahin Sandara karena perempuan itu minta tanggung jawab atas kematian suaminya"nafas Sunghoon memberat, dadanya terasa sesak mengungkit semuanya, lagi.

"Karena itu mereka salah paham terus sering berantem. Mama selalu nyalahin papa karena mama mikir kalau papa selingkuh, gitu juga papa, selalu nyalahin mama karena nganggep mama gak ngerti kalau semua yang papa lakuin itu buat mama"

Nabila hanya diam, semuanya terlalu tidak mungkin untuk ia terima.

"Gue sebenernya gak masalah papa nikahin Sandara, tapi yang bikin gue benci kenapa mereka harus punya anak"

Anak? Janendra?

"Lo liat kan seberapa miripnya anak itu sama papa? Sedangkan gue? Gue ngerasa gak ngambil apapun dari orang tua gue"

Benar, perkataan Sunghoon memang benar, Nabila menyadari itu. Namun ntah mengapa nabila merasa kalau Sunghoon sedikit mirip dengan Janendra.

"J-jadi sebenernya ini alasan lo benci kak jeno dan selalu ngelarang gue deket sama dia?"tanya Nabila menatap manik gelap itu takut-takut, membuat sang empu mengangguk.

"Gue gak mau dia ngambil orang yang gue sayang untuk kedua kalinya"perkataan Sunghoon membuat Nabila mematung. Mata sayu lelaki itu menatapnya lekat, rambut hitamnya diterpa semilir angin malam, wajah lelaki itu tidak jelas, namun ntah mengapa ketampanannya meningkat bahkan ketika hanya lampu jalan yang menyorot.

Sunghoon mendekat, secara tiba-tiba lelaki itu mendekap Nabila, meletakkan wajahnya pada celeruk leher gadis itu.

"Gue gak suka kalau lo bilang Jeno lebih dulu kenal lo dari pada gue, karena justru dia yang mau ngambil lo dari gue"penuturan Sunghoon membuat Nabila mendelik.

"Gue sayang sama lo, dari dulu. Maaf kalau selama ini lo gak nyaman karena gue kasar, tapi gue bener-bener gak tau harus apa, g-gue deg-degan"suara Sunghoon memelan di akhir kalimat, dia terlalu malu untuk mengatakan itu secara terang-terangan.

Nabila tersenyum, tangannya terangkat mengelus surai hitam suaminya.

"Jangan tinggalin gue, karena gue bisa gila"ucap Sunghoon mengeratkan pelukannya, seakan-akan itu adalah pelukan terakhir dengan gadisnya.

"Sama"suara Nabila mengudara, bersamaan dengan bibir gadis itu menciptakan lengkungan indah.

"Hm?"

"Sama. Gue juga sayang sama lo Park Sunghoon..."






















Kalau ada yang kurang jelas? Tanya aja di kolom komentar okay? Ntar aku usahain buat bales pertanyaan kalian



Tbc...

A DESTINY || PARK SUNGHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang