AD XIX

10.3K 1.4K 31
                                    

Sunghoon berlari di koridor rumah sakit, meninggalkan Nabila yang berjarak cukup jauh darinya. Dia tidak perduli, yang sekarang ada di pikirannya hanya Margareta.

Sedangkan Nabila, dia sudah berlari sekuat tenaga, tapi apalah daya langkahnya tak sebanding dengan langkah sang suami. Nabila tidak rewel menyuruh Sunghoon menunggu dirinya, dia paham situasi, membiarkan lelaki itu berlari menabraki orang-orang yang dilaluinya, dan setelahnya giliran Nabila yang meminta maaf pada orang-orang tersebut.

Sunghoon terus berlari hingga langkahnya berhenti di depan pintu bertuliskan tiga huruf, UGD. Nabila yang baru sampai terkejut melihat tubuh lelaki itu merosot dengan pandangan kosong, ntah apa yang dilihatnya di dalam sana, Nabila tidak ingin tau karena ia terlalu takut untuk melihatnya.

"Tante Reta pasti baik-baik aja"Nabila berjongkok di hadapan Sunghoon, menyamakan tubuhnya dengan lelaki itu. Sunghoon tidak menjawab, dia menatap lurus manik Nabila, tanpa disangka bulir bening keluar dari netra lelaki itu.

Nabila panik, pasalnya dia tidak pernah melihat Sunghoon menangis.

"Mama.."suara yang menayapa indra pendengaran Nabila terdengar sangat lirih.

"Lo anak laki-lakinya tante Reta, lo pasti kuat"tangan Nabila menyisir rambut Sunghoon ke belakang, tetapi reaksi lelaki itu sungguh di luar dugaan. Mata yang tadinya hanya sekedar mengeluarkan buliran bening, kini tergantikan dengan isakan. Sangat pilu membuat hati Nabila mencelos mendengarnya.

Perlahan Nabila membawa lelaki itu ke dalam pelukannya "Nangis aja. Tapi air mata lo cuma boleh keluar malam ini, gak untuk besok"

Untuk pertama kalinya, Sunghoon yang Nabila kenal telah hilang, berganti dengan sosok lelaki yang sebenarnya memiliki sisi rapuh.

Sangat rapuh.

.

.

.

Jam menunjukkan pukul 01.00 malam, tetapi Nabila berjalan sendirian menuju kantin rumah sakit. Kejadian barusan terlalu tiba-tiba membuat dirinya lupa mengisi perut. Sebenarnya Sunghoon menawarkan diri untuk pergi, tetapi Nabila tidak tega melihat kondisi lelaki itu yang sangat kacau.

"Mau dibungkus atau makan sini?"tanya sang penjual.

"Emm bungkus aja bu"ucap Nabila tersenyum sopan.

"Ditunggu ya neng.."Nabila mengangguk menanggapi wanita 50 tahunan itu.

Suasana malam di rumah sakit memang sepi, hanya ada satu dua orang yang memiliki keperluan di kantin, mungkin orang-orang tersebut sedang menemani keluarga mereka yang sakit.

"Kak Nabila?"Nabila menoleh, menatap seseorang yang baru saja memanggil namanya.

"Janendra?"tebak Nabila membuat lelaki itu mengangguk, tak lupa dengan senyumannya.

"Kamu..."

"Aku sama bunda lagi nungguin ayah"jawab Janendra mengambil duduk di samping Nabila.

Ahh Nabila lupa, bukankah ayah mertuanya juga mengalami kecelakaan yang sama seperti Margareta?

"Gimana keadaan om Anton?"tanya Nabila membuat wajah sang lawan bicara berubah sendu.

"Gatau kak, dari tadi dokter belum keluar ruang operasi"

Nabila menutup mulutnya tak percaya dengan jawaban Janendra. Apakah separah itu?

"J-jadi gimana? Perlu aku kasi tau Sunghoon?"

"Jangan kak. Kak Sunghoon gak bakal mau nemuin ayah"

"Kenapa jangan? Om Anton juga ayahnya"Nabila mengernyit, kenapa anak sendiri tidak boleh menemui ayahnya?

"Karena masih ada aku sama bunda, kak Sunghoon gak bakal mau"Janendra tersenyum nanar.

Sebenarnya bocah lelaki itu ingin sekali bisa akrab dengan saudara tirinya, tetapi ia cukup tau diri mengapa Sunghoon membencinya. Ibunya mengambil pahlawan lelaki itu, hingga lahirnya dirinya. Tak bisa dipungkiri saudara tirinya itu sangat membencinya, bahkan enggan melihat wajahnya.

"Tante Reta gimana kak?"Janendra yang tadinya tertunduk mengangkat wajah menatap Nabila, tetapi gadis itu hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Kak Sunghoon itu manusia paling kuat yang pernah aku kenal, dia pasti bisa lewati semua ini"dengan senyumannya Janendra berucap.

"Kamu juga"Nabila ikut tersenyum "Yang sabar yaa.. Aku yakin Sunghoon gak bener-bener benci sama kamu"ucapan Nabila membuat Janendra tersenyum hingga matanya menyipit, sangat manis.

Rasanya Nabila ingin tertawa mendengar ucapan bodoh yang keluar dari mulutnya. Siapa dirinya bisa meyakinkan Janendra? Bahkan Nabila ragu dengan ucapannya barusan.

"Neng, ini pesenannya"suara itu menyadarkan Nabila dari lamunan, bersamaan dengan Janendra yang tiba-tiba menerima telfon.

"Oh iya"Nabila bangkit dari duduknya, memberikan uang berwarna biru pada wanita itu.

"Makasih ya bu.."ucap Nabila pergi dari sana. Tetapi sebelum benar-benar pergi tak lupa ia memberi isyarat kepala Jenendra ingin pamit lebih dulu, dan lelaki itu menanggapi dengan anggukan.

Lima langkah.

Baru lima langkah Nabila berjalan, suara sirine rumah sakit yang menyala memenuhi indra pendengarannya.

"Innalillahiwainnailaihirojiun"

Belum sempat nabila menoleh ke sumber suara, dia sudah lebih dulu dikagetkan dengan janendra yang berlari kencang mendahuluinya.

Tuhan.. Gak mungkin kan?





























Tbc...

A DESTINY || PARK SUNGHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang