19. Lukis Sabit Sebelum Pudar

51 6 0
                                    

Berjalan sebentar untuk mengingat kisah masa lalu, tak ada salahnya, kan?  Perlahan-lahan ingatan manis terus bermunculan, seolah memberitahu kalau bahagia benar-benar datang nantinya.

Ibnu tak yakin dengan perasaannya, tapi ketika ia baru saja menginjakkan kaki di rumah usai mengantar Nirmala, ia sempat bertanya pada Galuh tentang guru yang  menurut anak itu sangat baik seperti bunda.

Awalnya hanya gurau ketika malam tiba, obrolan kecil yang setiap malam tak pernah terlewatkan. Sesekali sambil membuat skesta wajah keponakannya, terkadang membuat skesta pantai yang begitu sederhana.

Semua yang dilakukan Ibnu atas dasar keinginan dikala lelahnya tiba tanpa alasan. Dikala rindunya muncul tanpa permisi. Bahkan di saat Galuh merengek karena bosan. Anak itu benar-benar maniak, seolah semua gambarnya akan dijadikan maha karya saja seperti yang dijanjikan Irgi.

Kini Ibnu kembali membuka album lama yang selalu tersimpan rapi di tempatnya. Di sana ia bisa melepas setengah dari keseluruhan beban yang amat sangat berat dan melelahkan menurutnya.

Ia juga sempat mengambil gitar kesayangannya sebelum benar-benar melepaskan beban hidupnya di sebuah kamar yang selalu tertata rapi tanpa diubah sedikit pun dekorasinya.

"Luh, kalau lo inget lagu duet kita waktu itu, mungkin lo akan bilang kita akan masuk dapur rekaman," ucap Ibnu ketika ia membuka lembar pertama dari album berwarna abu-abu.

"Tapi Lo bilang suara kita kayak suara bajaj, yang bunyinya kayak kentut. Mau gue tabok juga, Lo adek gue, nggak ditabok, gue-nya kesel. Mau heran, tapi itu Lo. Lempeng kayak jalan tol, sok dingin, padahal penakut. Sok dewasa, padahal manja. Banyak deh," lanjutnya. Di setiap lembar Ibnu selalu mengatakan apa yang ia ingat dari moment yang diambil dengan kamera tanpa sengaja.

Bukan hanya mendiang adiknya, tapi ada Kamila, Regi, dan Fariz. Foto yang diambil saat ulang tahun ke tiga belas Galuh. Tepat seehari sebelum  liburan. Ada sesak saat melihat foto keluarga yang kini hanya tinggal kenangan semata. Ada kerinduan yang cukup besar bahkan sulit untuk dijelaskan dengan kata.

Hanya air mata dan ingatan kecil yang terkadang terlupakan, kapan waktu itu terjadi. Melihat wajah  keponakannya, seperti menemukan Galuh dalam versi berbeda.

Versi yang jauh lebih mengejutkan dan lebih banyak pertanyaan yang satu-per-satu terjawab dengan sendirinya. Dan Ibnu baru merasakan pertanyaan itu terjawab, salah satunya mengenai kesehatan Fariz.

Elga memang menelponnya beberapa waktu lalu karena mencemaskan putranya yang memang sedikit rewel belakangan. Elga juga memberitahu kau operasi Fariz berjalan lancar. Selama ini ibnu hanya tahu kalau kakaknya baik-baik saja. Namun, di balik sana, tubuh itu merintih kesakitan. Entah sudah berapa lama Fariz menyembunyikan lukanya, entah sudah berapa banyak obat yang dihabiskannya. Hanya karena ingin menjaganya dan juga Galuh. Rasanya tidak adik, tapi Ibnu tidak bisa berkata apa pun selain 'maaf'.

"Lo tahu nggak, hari ini  keponakan lo ngedrama lagi sebelum pulang sekolah, persis kayak lo dulu."

"Dia manja, wajar sih, karena Tunggal, tapi nyebelin kayak Abang, asli, jauh lebih ngeselin, Luh."

Di setiap foto yang ia lihat, ia akan memberi jeda untuk mengingat sisa kenangan yang dulu pernah ia lalui dengan saudaranya.  Mengingat sedikit jejak, agar harapan tak pergi lagi.

Namun, baru beberapa foto yang ia lihat, ponsel yang diletakan di sebelahnya kembali berbunyi. Matanya menyipit, mencoba melihat siapa yang berani mengganggu moment langkanya.

Iwan is calling...

"Ganggu!" Gumamnya pelan, kemudian ia pun menggeser layar dengan tanda hijau di ponselnya.

JEJAK ASA (Selesai)✅Where stories live. Discover now