3. Memori Susu Kotak

121 14 27
                                    

Tawa lepas setelah mendengar cerita Ibnu dan teman-temannya, kali ini Galuh pun ikut serta untuk menangkap ikan dengan mata besar di sana. Mendengar celoteh Galuh, Ibnu benar-benar terhibur. Mengingat bagaimana anak itu kesal ketika Genta dan Iwan meledeknya. Tidak hanya itu, mengingat bagaimana Desga juga Irgi berhasil menyembunyikan camilan favoritnya. Sementara Luki dan Reka mengambil bagian sebagai penonton bayaran di bawah atap saung yang sudah mereka sewa sebelumnya.

"Om Genta! Nanti aku bilangin Bunda sama Papa, ya!"

"Yah, gimana dong Wan, kita dilaporin nih," sahut Genta.  Raut wajah yang dibuat melas sedemikian rupa, membuat Ibnu menahan tawa.

"Om, aku mau pulang!"

Ibnu tak tahu harus mengatakan apa pada semua temannya, ia tak bisa menahan rasa gemas kalau Galuh sudah mencebik kesal. Anak itu sangat menggemaskan, mata sipit yang persis seperti milik Fariz membuatnya semakin manis bila sedang melotot padahal sudah minim dengan standar  sipit keturunan kakaknya.

"Udah mau sore juga Nu, jadi ke gedung?" Suara Luki mengalihkan pandangan Ibnu dan  yang lainnya.

"Besok aja deh, tadi Kak Elga sempat telepon nggak ke angkat sama gue," sahut Ibnu.

"Bunda telepon?" tanya Galuh antusias. Ibnu hanya mengangguk kemudian beranjak dari tempatnya. Tak lupa dengan Galuh yang selalu ikut serta di sebelahnya sambil menggenggam erat tangan besar Ibnu.

"Mamaknya udah nyariin, kalau anaknya nggak balik, bisa habis peliharaan gue di rumah di goreng sama Bapaknya." Keluh Ibnu membuat Iwan terbahak, tak kuasa menahan diri untuk tidak tertawa. Ibnu memang bisa membuat mood  orang lain membaik padahal dirinya sedang mengkhawatirkan sesuatu di balik sana.

"Tolong beresin alat pancing gue, Wan. Susah kalau udah begini maunya nempel kayak perangko." Iwan mengerti, ia juga tahu siapa Galuh untuk Ibnu, keponakan satu-satunya yang Ibnu punya.

Mendengar kisah Elga yang tak akan bisa lagi memiliki keturunan membuat Fariz terpukul, setelah kelahiran Galuh, Elga harus merelakan sebelah rahimnya untuk diangkat karena penyakit kista yang cukup berbahaya. Bahkan saat mengandung Galuh pun, dengan susah payah Elga mencoba mempertahankannya.  Sampai detik ini, rasa takut itu terkadang menghantui Elga, di malam hari wanita itu menangis bila melihat putranya yang terlelap begitu damai. Ia sangat beruntung memiliki suami seperti Fariz yang cukup romantis, setidaknya Fariz masih bisa dikategorikan sebagai manusia langka dengan sifat yang luar biasa tak terduga.

"Om, Om tadi bilang kalau Om Nanda suka banget sama cokelat, kan cokelat bisa merusak gigi, kenapa Om Nanda suka cokelat? Kenapa Om Nanda suka juga sama langit oranye? Om belum jawab, ayo ceritain lagi," celoteh yang Ibnu lewatkan kini kembali terdengar. Ketika mereka baru saja keluar dari area pemancingan menuju parkiran. Bahkan anak itu sudah mengalungkan kedua tangannya di leher Ibnu. Ia merengek meminta Ibnu menggendongnya. Rasa kesal akan selalu datang, tapi ia tak bisa marah apalagi melihat Galuh yang kini  sudah memasang wajah penasaran di hadapannya.

Wajah mereka begitu dekat, sesekali Galuh memainkan cincin kembar yang Ibnu jadikan sebagai kalung.

"Ananda H-a-i-kal Ga- luh! Ah! nama aku, "pekik senang Galuh ketika mengeja nama yang tertera di cincin tersebut. Matanya menyipit saat membacanya. Ibnu terkekeh, lalu menempelkan keningnya membuat si pemilik mendongak menatapnya.

"Namanya bagus Om, kenapa Bunda panggilnya Nanda? Galuh juga bagus,"ucapnya lagi. Ibnu pun mengerutkan keningnya, bahkan hal itu membuat Galuh ikut meniru apa yang Ibnu lakukan.

"Kalau Bunda panggilnya Galuh, kamu dipanggil apa nanti?" Pertanyaan Ibnu langsung dihadiahi cium manis yang mendarat di pipi kirinya tak lama anak itu terkekeh.

JEJAK ASA (Selesai)✅Where stories live. Discover now