2. Sebelum Fajar

168 17 4
                                    

Jika saja senja tak tenggelam, maka gulita tak akan hadir. Seperti harapannya yang selalu ingin ada di sana. Seperti pagi tadi, siang ini pun sama. Galuh memaksa Ibnu untuk menemani belajar bermain basket. Padahal Ibnu sudah ada janji dengan Genta dan yang lainnya, kalau mereka akan pergi memancing. Namun sekali lagi, permintaan Galuh adalah mutlak, tidak bisa di rubah atau diganti.

Sementara Fariz sibuk dengan berkas yang berserakan di meja ruang tamu. Tak lupa ada Elga yang selalu menemani di sisinya. Sesekali mereka mengobrol kecil mengenang bagaimana pertemuan mereka yang tidak biasa ketika di mall untuk pertama kali setelah sekian lama berpisah. Fariz tak akan pernah menahan senyum jika Elga mengingatkan akan dirinya yang dikira pencuri parfum. Wajah Elga saat itu tampak panik, namun Fariz menjelaskan kalau Elga adalah kekasihnya. Satu hal yang paling menggemaskan ketika Fariz mengatakan kata 'keksih' kedua pipi Elga merona. Seolah itu adalah harapan yang selalu ia tuang dalam doanya.

"Bunda! Aku mau ikut Om mancing, boleh?" Suara melengking Galuh menggema di ruangan. Membuat Fariz menghela napas karena terkejut. Sementara si pelaku dengan santainya berdiri di depan pintu sambil memegang bola basket yang tidak ringan.

"Mancing? Nanti kamu dibuang ke kolam ikan sama Om lho," ucap Elga asal. Elga bisa melihat kerut berpikir dari wajah putranya. Tak lama setelahnya Ibnu pun muncul di belakang Galuh, membuat anak itu mendongak menatap Om kesayangannya yang terlihat sedikit mencurigakan.

"Om nggak mau buang aku, kan?" Ibnu pun menunduk, lalu mengacak rambut Galuh sampai si pemilik memekik sebal.

"Rusak rambutnya!" Gerutu Galuh selalu bisa membuat Ibnu tertawa, tapi setelahnya akan ada tatap tajam dari Fariz yang tak suka dengan keramaian. Apalagi jika putranya sudah menangis.

"Bunda, boleh ikut Om kan?" tanya Galuh sekali lagi, kali ini ia meninggalkan bolanya di lantai lalu berlari kecil mendekati kedua orang tuanya. Galuh pun duduk di sebelah Elga, membuat Fariz beralih pada Galuh. Mendengarkan apa yang anak itu katakan adalah salah satu cara agar ia dekat dengan putra semata wayangnya.

Fariz sadar kalau dirinya jarang di rumah, menemani Galuh atau Elga. Memberi perhatian lebih pun Fariz rasa tak mampu, karena kesibukan yang selalu menyelimuti kehidupannya sejak dulu. Fariz selalu merasa kalau dirinya masih kurang, sama seperti dulu ketika menemani Galuh sakit ia tak ada di sana karena pertandingan yang membuatnya hampir melupakan kewajiban sebagai kakak.

Maka, sebisa mungkin ketika ia dapat hari libur atau memang sedang ada di rumah, Fariz menyempatkan waktunya meski pekerjaan akan selalu datang menganggu. Ia akan memberi putranya bicara lebih banyak meski itu akan membosankan untuknya, tetap saja, Fariz akan menjadi sosok Papa yang selalu Galuh rindu walau memiliki sifat yang begitu menyebalkan.

"Mancing di mana?" Ibnu dan Elga terkejut ketika Fariz buka suara saat Galuh meminta izin.

"Iya, Pa. Om Ibnu mau mancing sama kakak pasukan," celotehnya antusias.

"Lo ajarin anak gue apalagi, Nu?"

"Lah, lo kayak nggak tahu aja, gue makan mie ayam pakai sambel anak lo ikutan, gue nggak sejahat itu, dia mau ikut karena tadi Irgi ke sini," jawab Ibnu. Ketika ia baru saja duduk di sofa yang bersebrangan dengan Fariz dan Elga.

"Kalian obrolin dulu deh, aku mau ke dapur buat minum," putus Elga ketika ia melihat tatap sinis Fariz selalu tak santai bila Ibnu menjawabnya dengan asal.

"Kak Elga, Nu mau sirup Marjan," teriak Ibnu ketika Elga sudah melagkah meninggalkan mereka.

"Galuh juga mau Bunda, Marjan!"

"Kamu anak siapa sih? Papa atau Ibnu?" Fariz selalu melontarkan kalimat yang sama, yang menandakan kalau dirinya cemburu bila dirinya selalu menjadi nomor dua.

JEJAK ASA (Selesai)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang