14. Ruang Sendiri

76 7 3
                                    

Hari itu mereka telah melewati waktu bersama, berdua tanpa ada yang mengganggu. Peluk hangat itu membuat Fariz benar-benar kembali terlelap dengan damai.

Ada banyak ruang yang coba Fariz sembuhkan, banyak hal yang coba Fariz ingin ketahui. Tapi titik di mana semua itu harus dipenuhi, justru menghilang begitu saja. Cepat, sangat cepat, sampai kata-kata yang sudah di siapkan saja tak bisa dikatakannya.

Fariz selalu berharap pada jejak  kalau waktu bisa dikembalikan, ia ingin memperbaiki segalanya. Memperbaiki luka yang pernah ia buat secara tidak sengaja. Hanya saja, waktu tidak seperti ruang yang dapat di rubah kapan pun kita ingin. Sampai detik di mana Fariz berdiri di tengah lorong kosong sambil menatap lekat tubuh tinggi yang tengah duduk sendirian. 

Salah bila Fariz membiarkan adiknya tersiksa sendirian, tapi ia tidak ingin adiknya melewati masa remaja dengan beban yang berat.

Saat itu, langit masih terlihat, hanya warnanya saja yang berubah oranye. Fariz memutuskan untuk mendekat kemudian duduk bersama. Cowok itu menoleh kemudian memeluknya dengan erat.

"Gue takut sendirian di sini, gue nggak mau Lo pergi, bawa gue pulang ke rumah."

perlahan Fariz mengusap punggungnya begitu lembut, menangis pun sudah tak ada gunanya. Ia ingin, tapi tak bisa. Fariz memang tersiksa, benar-benar tersiksa ketika ia harus merelakan adiknya dibawa pergi oleh petugas rehabilitas. Hatinya hancur, batinnya meronta. Tapi bibirnya kelu meski untuk memanggil namanya.

"Nggak, Lo nggak sendiri. Ada gue, Lo di sini dulu, gue janji, gue akan datang setiap hari, jangan takut, ya," katanya. Fariz tidak tahu apa yang dikatakannya akan mempengaruhi atau tidak, tapi setelahnya Fariz bisa merasakan kalau adiknya menangis.

"Gue kangen Galuh, dia gimana? Dia baik-baik aja, kan?" tanyanya. Fariz tidak memiliki jawaban atas semua pertanyaan yang dilontarkannya setiap kali Fariz berkunjung. Sudah lama ia ingin mengatakan kalau dirinya tidak mengenal Galuh saat itu. Saat di mana ingatannya hanya melintas beberapa waktu sebelum kecelakaan terjadi. Entah bagaimana, tapi ia hanya mengingat beberapa menit terakhir sebelum tubuhnya menghantam aspal yang kasar. Ia hanya tidak, bukan berarti benar-benar melupakan segalanya.

"Galuh ... Galuh baik-baik aja, kok." Jawaban yang selalu Fariz berikan hanya untuk membuat adiknya tenang.  Iya. Tentu Fariz akan melakukan segala hal, meski dirinya akan terlihat bodoh nantinya.

"Apa?" tanya Fariz ketika cowok itu melepaskan peluk hangat yang beberapa kali ia terima belakangan.

"Kenapa suara Lo kayak nggak yakin, gitu?" tanyanya ragu. Fariz menggeleng, ia pun berlutut di hadapan adiknya dengan menggenggam kedua tangan yang terasa begitu dingin.

"Nu, Gue nggak tahu siapa orang yang Lo maksud. Gue juga nggak ingat siapa dia, sori. Tapi Lo harus percaya sama gue, setiap Lo nyebut nama dia, semuanya kayak nggak asing, tapi gue nggak inget siapa orang itu."

Ya. Harusnya Ibnu tidak melupakan ucapan Restu ketika lelaki itu berkunjung ke tempat dia menjalani perawatan. Restu menjelaskan banyak hal. Bahkan selama Fariz tak ada, Restu yang menggantikan posisi Fariz sebagai orang tertua yang harus Ibnu hormati. Ia juga tidak melupakan perjuangan teman-temannya yang datang untung memberinya semangat. Semua orang terdekat Ibnu, tahu tentang masalah yang Fariz alami. Lelaki itu mencoba menyelesaikannya sendiri, tapi belum cukup mampu untuk melakukan semuanya padahal dirinya masih butuh bantuan.

"Nggak, Lo harus ingat, dia bukan orang asing. Dia ada di setiap jalan yang kita pijak. Dia akan sedih kalau Lo lupa siapa dia. Bang, tolong ingat semuanya."

Hela napas yang selalu Ibnu dengar terasa begitu berat. Genggam tangan yang semakin erat, membuatnya semakin yakin tentang memori yang terlewat sedikit oleh Fariz di hari lelaki itu mengalami kecelakaan. Entah berapa lama kakaknya tertidur saat itu. Yang Ibnu tahu, Fariz tersadar beberapa minggu setelah keadaan dirinya sudah mulai membaik.

JEJAK ASA (Selesai)✅Where stories live. Discover now