Part 18

108 14 6
                                    

Sesampainya Adeta di rumah, ia langsung menghubungi Avishka dan menanyakan keadaan gadis itu karena tadi Avishka terlihat pucat dan berkeringat dingin seperti orang yang ketakutan. Namun Avishka mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Ia hanya gugup karena tadi sempat bertemu dengan Dokter Alan dan laki-laki itu seperti terlihat curiga padanya. Maka dari itu Avishka buru-buru meninggalkan Dokter Alan di saat Adeta meneleponnya.

"Makasih ya, Kak," ucap Avishka.

"Makasih untuk apa?" tanya Adeta tidak mengerti.

"Ya ... makasih karena Kakak udah nolongin aku tadi. Kalau bukan karena Kakak yang nelepon aku tadi, aku nggak tau harus gimana ngatasin Dokter Alan. Secara, Dokter Alan itu orangnya kepo akut. Mana aku sempet keceplosan lagi tadi di depan dia. Makanya aku gugup banget. Untungnya telepon dari Kakak bisa ngebebasin aku dari situasi itu," cerita Avishka panjang lebar yang diakhiri dengan tertawa kecil.

"Syukurlah kalau emang tadi aku bisa ngebantu kamu. Dan aku harap, untuk seterusnya aku tetap bisa bantu kamu," ujar Adeta. "Oh iya, kamu lagi apa sekarang?"

"Oh, aku baru aja selesai mandi," jawab Avishka. "Kakak udah sampe rumah?" tanyanya.

"Iya, aku baru aja sampe. Dan aku langsung nelepon kamu karena aku khawatir. Soalnya kamu tadi keliatan pucet. Aku takut penyakit kamu kambuh," jawab Adeta dengan nada khawatir yang kental.

"Aduh, aku udah bikin Kakak cemas di pertemuan pertama kita. Maaf, ya," ucap Avishka merasa bersalah.

"Aih, nggak apa-apa. Santai aja. Kamu kayak sama siapa aja, sih. Kamu nggak usah mikirin hal sepele kayak gitu. Anggep aja aku ini sebagai kakak kamu sendiri. Nggak perlu sungkan," balas Adeta, menolak perasaan bersalah Avishka. "Ya udah, aku tutup, ya. Mau mandi dulu."

"Iya, Kak. Bye."

"Bye," balas Adeta.

Panggilan telepon pun ditutup. Avishka merebahkan tubuhnya di kasur. Hari ini dirinya cukup senang walau merasa sedikit lelah. Perasaannya pun sedikit lega karena ada seseorang yang mempercayai perkataannya. Rasanya, perasaan tertekan yang selama ini ditanggungnya karena tidak bisa menceritakan kebenaran tentang dirinya pada orang lain itu sedikit berkurang. Ya meskipun dirinya masih belum puas karena keluarganya masih belum mengetahui yang sebenarnya. Namun untuk saat ini ia sudah merasa bersyukur.

Tanpa sadar Avishka tertidur. Beberapa saat kemudian, Tiara masuk ke kamar gadis itu. "Ternyata lagi tidur .... Pantas dipanggilin nggak nyahut," ucapnya, lalu duduk di samping Avishka.

Ya, tadi Tiara sudah beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil-manggil Avishka. Namun tidak ada jawaban dari gadis itu. Karena penasaran dan juga khawatir, Tiara membuka pintu kamar Avishka yang memang tidak terkunci dan mendapati gadis itu yang tengah tertidur dengan kaki yang menggantung di tepi kasur.

"Kamu kecapekan banget, ya? Sampe tidurnya di pinggir gini." Tiara membelai rambut Avishka. "Kalau dibiarin aja, pasti nanti kakinya sakit karena kelamaan ngegantung gini. Tapi aku nggak kuat mau mindahinnya. Gimana, ya?" gumamnya.

Tepat saat itu, Reiki yang sedang menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar Avishka, melihat Tiara berada di kamar adiknya itu. "Ma? Mama ngapain di kamarnya Vishka?" tanyanya.

"Oh, Reiki. Kebetulan ada kamu," ucap Tiara tanpa menjawab pertanyaan Reiki.

Reiki mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

"Ini, tolong kamu pindahkan adik kamu ini ke tengah. Kasihan kalau dibiarkan kakinya ngegantung gitu," jelas Tiara.

Reiki menatap Avishka yang sedang tertidur dan mengakui bahwa perkataan ibunya itu benar melihat posisi tidur gadis itu yang tentu saja kurang nyaman. Laki-laki itu kemudian mengangguk. Mengangkat Avishka dan membaringkannya di tengah kasur.

My Last Hope (ON GOING)Where stories live. Discover now