17. Sepotong Cokelat

Mulai dari awal
                                    

Perlahan peluk hangat itu mengendur, membiarkan jejak air mata melekat di kemeja biru yang Ibnu kenalan.

"Udah, jangan sedih. Senyum, terus masuk ke kelas. Hari ini Om yang tungguin kamu sampai pulang sekolah. Dan kamu, jangan lupa bekal makan siangnya dihabisin. Kalau mau cari, nanti Om ada di lapangan basket, oke?" Kata-kata Ibnu memang terdengar menyebalkan. Namun, di balik itu semua ada banyak hal yang Ibnu pikirkan. Mengusap jejak air mata yang mulai mengering di wajah Galuh merupakan hal yang paling tak bisa Ibnu lakukan sebenarnya. Ia tak suka melihat keponakannya sedih, ia selalu merasa kalau adiknya tidak pernah pergi ke mana-ma.

"Ok! Makasih, ya Om. Hari ini, aku seneng," katanya. Ibnu sangat ingin melihat Galuh tersenyum, tapi tidak dengan hari ini. Senyum yang Galuh perlihatkan padanya sangarnya menyedihkan. Ia hanya mampu mengusap kepala keponakannya untuk memberi semangat.

"Semangat sekolahnya!" kata Ibnu. Setelah ia turun lebih dulu barulah membukakan pintu mobil untuk Galuh yang sudah kembali tersenyum.

"Aku masuk dulu, ya Om. Daaa...!"

Ibnu tetap sosok yang sama, meski keadaannya sudah berbeda. Ia tetap orang yang sama, yang mencintai luka. Bukan karena ia terobsesi dengan duka, hanya saja, harapan yang dirasa akan bahagia justru sebaliknya. Ia hanya berdamai dengan luka masa lalunya, itu pun hanya sebentar.  Karena jejaknya kembali bukan lagi mengukir.

💫💫

Sebelum kisahnya berakhir, Ibnu dan Galuh pernah bercerita sedikit tentang masa depan yang mungkin tak semuanya akan berakhir bahagia. Atau mungkin, tidak semanis cokelat, atau seindah bunga mawar yang baru saja mekar di taman.

Ia hanya bercerita tentang kenangan lama yang menjadikannya sebuah rindu. Kisah yang begitu kaku bila diingat. Katanya tentang Fariz. Nyatanya, mereka memang berusaha untuk memberikan bahagia dan duka dalam waktu yang berdekatan.

"Kalau Kakak cantik itu dikasih cokelat, dia mau nggak, ya?" tanyanya begitu penasaran. Ibnu menoleh, merasa heran bahkan bingung mendengar ucapan Galuh yang tampak serius. Padahal, saat itu mereka hanya berjalan-jalan di taman tak sengaja bertemu lalu mengobrol sebentar. Itu pun tidak membawa apa-apa untuk diberikan, walau tak berniat untuk berjumpa.

"Lo mau godain? Gila! Adek gue udah gede." Suara Ibnu terlalu ramai, nyaris membuat keributan. Alhasil satu gigitan semut menjadi jejak di lengannya. Ibnu meringis, katanya kalau Galuh sudah mencubit panasnya sampai ke hati, lebay memang, namun selalu berhasil membuat adiknya kembali mengulas senyum.

"Jangan keras-keras! Lo mah bikin malu!"

"Ya, maaf. Lagian Lo nggak kasih kode mau ketemu orang di taman, sih, kan, nggak ada persiapan."

Ibnu itu tahu kapan adiknya akan tersenyum dan kapan adiknya akan terluka. Namun, kala itu yang Ibnu lihat bukan keduanya. Ibnu seperti mendapat pesan yang begitu samar, seolah pesan itu harus sampai ke tangan yang tepat.

"Kamu di sini?"

Ibnu tidak mengerti cara kerja semesta yang begitu baik padanya. Belakangan sudah tiga kali Ibnu bertemu dengan Nirmala. Guru cantik kesayangan keponakannya  itu.

Ibnu pun menggeser tubuhnya sedikit agar gadis yang berdiri di sebelahnya ikut duduk bersama.  Pandangan Ibnu kembali pada langit biru yang saat ini terlihat sangat cerah, matanya menyipit karena terik matahari yang terlalu menghalangi.

Embus angin pagi membuat rambut Ibnu yang mulai panjang terbawa oleh angin.

"Aku sedang membayangkan sesuatu di sini," katanya seraya menoleh ke arah Nirmala yang kini tengah menatapnya tanpa sadar. Pandang mereka bertemu, kemudian keduanya sama-sama memalingkan wajah karena malu. 

JEJAK ASA (Selesai)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang