17. Sepotong Cokelat

53 7 0
                                    

Seperti hari sebelumnya, drama kecil yang akan membuat Ibnu harus mengusap dada setiap kali berbicara dengan Galuh. Anak itu seakan bisa membaca pikiran semua orang, padahal tahu semua yang diucapkannya hanya kebetulan.

Sejak bangun tidur, Galuh hanya diam bahkan saat di meja makan pun anak itu hanya menatap sarapannya tanpa di sentuh. Hal yang sangat menyebalkan untuk Ibnu, jika sesuatu sedang mengganggu pikiran anak kecil yang kini terus menundukkan kepalanya.

"Gal, ada apa?" Secepat kilat suara Ibnu berhasil membuat anak itu mendongak dengan tatap yang sama.

"Aku kangen Papa, Om. Papa kapan pulang?" Pertanyaan yang sama sudah berulang kali Ibnu dengar, ia juga sudah lelah menjawab sebenarnya. Hanya saja, apa yang dirasakan Ibnu saat ini jelas berbeda. Ada ragu yang begitu besar ketika Galuh bertanya dengan nada yang sangat pelan bahkan terdengar begitu lirih. Ibnu tidak ingin mengatakan hal yang akan membuat Galuh terluka, terlebih mendengar kabar Fariz yang akan melakukan operasi hari ini.

Yang Ibnu dengar dari Elga saat wanita itu menelponnya sangatlah mengejutkan. Ada banyak pertanyaan yang sampai sekarang belum ada jawaban yang pasti.

"Infeksi lambung? Bukannya cuma maag aja, kan? Kak El pasti lagi bercanda, nih."

"Ibnu, kamu harus tahu ini, hari itu, sepotong cokelat. Di hari yang sama, Restu kabarin Kakak kalau Fariz ada di klinik."

"Waktu kita di taman?"

"Iya. Waktu kamu sama Nanda ngajak Kakak ke taman."

"Hubungannya sama klinik, apa?"

"Kamu cukup datang ke rumah sakit, jangan kasih tahu Galuh, kamu tahu Galuh paling nggak bisa dengar kabar buruk soal Papanya, tolong buat kali ini, datang."

Tepatnya Ibnu lupa jam berapa Elga menelpon. Yang Ibnu ingat saat ia sedang merapikan perlengkapan sekolah Galuh kemudian membuat sarapan dan setelahnya, pergi. Sementara Irgi dibiarkan tinggal di rumah mengurus hal-hal kecil yang cowok itu bisa.

"Om, Papa aku sakit apa sih? Kenapa lama-lama di rumah sakitnya? Kan, kalau ketemu Om dokter pasti Papa bosen. Papa,kan, nggak suka Om dokter. Kata Papa, Om dokter kalau marah sukanya suntik-suntik, emang, iya?"

Perlahan Ibnu meletakkan telapak tangannya di wajah mungil Galuh yang tampak penasaran dengan apa yang diucapkannya baru saja. Ibnu mengulas sedikit senyum, agar percaya, padahal Ibnu jauh lebih khawatir.

"Gini, ya Gal, Om dokter enggak se-galak yang kamu pikir. Enggak se-marah yang kamu lihat, dan nggak se-menyeramkan apa yang kamu khawatirkan. Om dokter itu baik, kalau nggak ada Om dokter, nanti yang sembuhin luka semua orang siapa? Masih ingat kata Bunda?"

Galuh menganggyk, mendengar ucapan Ibnu yang pernah ia dengar dari Elga sebelumnya. Ia juga ingat bagaimana Elga menyampaikannya dengan sabar meski saat itu, Galuh masih belum paham karena usianya masih begitu muda untuk menangkap ucapan orang dewasa. Baginya, sembuh hanya Tuhan yang mampu melakukannya. Dokter sebagai perantaranya.

"Kata Bunda, kita harus berdoa sama Tuhan, supaya orang yang kita sayang selalu diberi keselamatan. Kalau ada yang sakit, didoain supaya sembuh," ucapnya. Benar-benar pelan dan nyaris tak terdengar.

"Nah, sekarang kita bisa kirim doa buat Papa, supaya Papa cepat pulih. Biar Om dokter yang periksa Papa bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, ngerti,kan, maksud Om?"  Galuh kembali mengangguk. Ia pun memeluknya dengan tiba-tiba.

Untung saja sudah sampai di parkiran sekolah, berdiam cukup lama di dalam mobil membuat Ibnu hampir melupakan kalau waktu bel masuk sekolah tinggal beberapa menit lagi.

JEJAK ASA (Selesai)✅Where stories live. Discover now