6

1.4K 242 5
                                    

Pagi pertamaku di kedaton Majapahit.

Aku duduk menjuntai di atas kursi bambu, tepat di bawah pohon beringin yang rindang. Mengamati embun yang perlahan menetes dari daun asoka. Kegiatan yang sungguh tak berguna.

Andai di kehidupan 2021, aku bisa memanfaatkannya dengan membaca atau paling tidak merangkai sepintal puisi untuk aku posting di akun media sosial. Bukan menanti Ratu Indreswari bersiap dengan mengamati pohon asoka yang dahannya bergerak dikemudian angin.

Hari ini aku sudah resmi menjadi dayang pribadinya. Sejak fajar tadi aku sudah bersiap dan pergi ke kamar Ratu Indreswari. Membangunkannya, menyiapkan bajunya, seperti yang Bik Tatan—asisten rumah tanggaku—lakukan padaku.

"Kamu tidak perlu melakukan itu, Ashmita. Aku bukan anak bayi," kata Ratu Indreswari ketika aku mengeluarkan beberapa setel baju dari lemarinya.

Dengan senyumnya ia menatapku. "Aku masih kuat melakukan itu semua. Yang kamu lakukan hanya satu, menemaniku. Sudah itu saja."

Dan semenjak itu, aku duduk di beranda kamar Ratu Indreswari sembari menatap pohon asoka yang bisu. Tentu saja, jika pohon itu berbicara aku sudah lari terbirit-birit.

Aku merapatkan selendang. Cuaca pagi di sini masih begitu dingin. Bahkan kabut-kabut tipis masih menyelimuti. Andai ada sweater atau cardigan, pasti lebih hangat.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Seketika aku berdiri. Menghadap asal suara dengan pandangan menunduk. "Menanti Gusti Ratu Indreswari."

"Kau dayangnya. Tugasmu, memenuhi segala kebutuhannya. Bukan malah duduk seperti nenek-nenek pikun yang menikmati matahari mengkal."

Huh, jika dia bukan raja rasanya aku ingin mengumpatinya, menjambak rambut jeleknya itu. Dia bilang aku apa? Nenek-nenek pikun? Enak saja! Dia sendiri seperti kakek-kakek cerewet dan pemarah di ujung jalan rumahku!

"Ashmita! Kau mendengarku?"

"I-iya."

"Lalu apa yang kau lakukan di sini?"

Lha emang aku harus kemana?

"Masuk! Bantu ibuku!"

"I-iya."

Aku bergegas masuk ke dalam kamar Ratu Indreswari. Meninggalkan Raja pemarah itu. Sedangkan di dalam, Ratu Indreswari tertawa pelan melihatku yang buru-buru masuk.

"Maafkan Jayanegara, ya. Dia memang seperti itu."

"Pemarah dan cerewet. Dasar menyebalkan!" gumamku pelan.

"Kamu mengatakan sesuatu?"

Eh? Dasar mulut!

Aku menggeleng. "Tak apa. Dia melakukan itu karena dia begitu menyayangi ibunya," ungakapku. Ini jujur. Terlepas dari sikapnya yang menyebalkan itu, dia sangat menyayangi ibunya.

Ratu Indreswari tersenyum.

"Bagaimana merajutmu?"

Aku menggeleng. Dari wajah tertekukku, Ratu Indreswari sudah bisa menyimpulkannya.

"Mari ikut aku."

Tak mau mendapatkan bentakan kali kedua dari Jayanegara, aku mengekori Ratu Indreswari yang berjalan menyusuri koridor yang mulai ramai dengan pergantian pengawal.

Aku melihat kiri-kanan koridor. Beberapa dinding memiliki seni ukir dan beberapa dinding lain, kayu polos biasa. Kabut masih menyelimuti tempat ini walaupun sudah tipis-tipis.

Langkah Ratu Indreswari berhenti di sebuah ruangan yang tak terlalu besar. Aku juga berhenti. Melihat apa yang ada di dalam sepertinya ini dapur istana. Ada dua perempuan di dalamnya yang sudah sibuk di depan tungku, dan yang lainnya sibuk mengiris-iris sayur. Aroma masakan dengan penuh rempah juga menyambutku.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon