23

848 137 0
                                    

Angin berhembus kencang. Suara gemericik air membuatku terpaksa membuka mata.

Dihadapanku, terbentang sabana luas. Di sisi timurku, grojogan beserta airnya mengalir lembut. Dalam aliran sungai yang lembut itu, nampak purnama yang tengah bercermin. Malam ini angkasa amat menawan dengan gemerlap bulan-bintangnya.

"Hai, Mita!" Aku terkesiap—di sini, tak ada satupun yang memanggilku dengan Mita. Sedangkan suara renyah itu, tak pernah kudengar.

Aku segera menoleh ke asal suara, tepat di belakangku. Sosok dengan setelah jas hitam rapi, lengkap dengan kaca mata hitam, serta rambut yang di sisir rapi, melangkahkan kakinya dengan mantap. Menjajarkan posisinya dengan tempatku berdiri di bibir sungai.

"Bagaimana kabarmu?"

Eh?

Suara pemuda ini memang terdengar ringan, renyah dan ramah, tapi aku tak mengenalinya. Bahkan di abad ini, belum ada setelah jas rapi seperti itu yang lengkap dengan kacamata hitamnya.

"Siapa kau?" Mataku menyelidik.

Ia tersenyum tipis. "Tak penting bagimu siapa aku. Akan lebih penting bagimu mengetahui apa yang akan aku tunjukkan padamu." Pemuda itu merapatkan jasnya. Berbalik. Menatap hutan di belakangku.

Aku ikut membalikkan badan. Menatap dua pohon kembar yang katanya adalah tempat bersemayamnya sebuah portal ghaib.

Pemuda itu kini menatapku. Ia tersenyum penuh makna.

"Lihatlah!" Ia menunjukkan dua pohon kembar itu.

Aku menurut. Entah ilusi optik apa yang tengah aku alami ini, tapi di sana nampak salah seorang yang begitu aku rindu. Ia berdiri mematung di jembatan itu—jembatan aku terjatuh.

Dalam keremangan malam, wajahnya terlihat sangat amat kusut dan lesu. Di kedua matanya ada lingkaran hitam. Pemuda itu menderita insomnia, tapi pekerjaan membuat dia harus tetap memelihara insomnia itu.

"Kau mengenalnya? Tentu saja." Pemuda setelan jas itu tertawa pelan.

Aku tak mengindahkannya. Aku berlari mendekati Kak Aarav.

Dari dekat wajahnya nampak begitu kuyu. Aku ingin lebih dekat lagi, tapi seperti ada dinding yang menghadangku. Sebuah dinding kaca yang begitu tebal dan bening.

Duk! Duk! Duk!

Aku memukulnya dengan keras. Tapi nihil.

"Kak Aarav, apa kau mendengar suaraku?!" seruku lantang. Tapi dia bergeming. Tetap berwajah sendu dengan pikiran entah melayang kemana.

"Kak Aarav, kau ..." suaraku tercekat.

Kak Eka hadir juga di balik dinding itu. Wajahnya satu tema dengan Kak Aarav. Kakakku itu nampak begitu letih. "Kak Eka, tolong lihat aku, Kak? Aku di sini, Kak. Kakak!"

Hening membungkus hutan sejenak.

Suaraku seperti terendam di sini. Aku kembali berteriak. Memanggil mereka. Namun bukannya mereka mendengarku, mereka justru beranjak. Aku terus berteriak meminta tolong. Menunjukkan posisiku. Tapi nihil. Mereka pergi tanpa sedikitpun mendengar teriakkanku ini. Teriakan yang membuat kerongkonganku sakit.

Mataku memanas melihat ruangan yang kosong tanpa manusia itu. Rekayasa apakah ini? Permainan apa lagi ini?
Pemuda berjas itu kembali tertawa. Menggelengkan kepalanya pelan seraya menghampiriku.

Apa dia menertawaiku? Wajahku merah padam. Siapa dia sebenarnya? Bagaimana dia bisa tertawa di atas derita orang?

"Minum?" Pemuda itu mengulurkan satu botol air mineral. Aku menepisnya kasar. Sudah dipastikan, pemuda ini bukan dari abad ini. Barangkali dia juga korban sepertiku.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt