4

1.8K 247 1
                                    

Tanah Kelahiran, 2021

Siang yang begitu panas menyelimuti daerah pesisir. Beberapa jam sebelum aku terlempar ke Majapahit dan Ratu Indreswari menjadikanku dayang pribadinya.

Di acara tahunan sekolah—class meeting—yang nyaris dua tahun terakhir tidak dilaksanakan karena pandemi, digelar dengan sangat meriah.

Ada begitu banyak perlombaan. Mulai dari cabang olahraga hingga budaya. Setiap kelas dan organisasi ekstra kurikuler harus mengikuti lomba-lomba yang diselenggarakan.

Kebetulan aku tergabung dalam ekstra kurikuler jurnalistik. Aku mengikuti salah satu lomba menulis novelet. Hadiahnya mengiurkan. Naskah yang menang akan dicetak menjadi novel secara gratis dan mendapatkan royaltinya. Tapi itu hanya berlaku untuk pemenang juara pertama. Juara kedua dan ketiga hanya dimuat dalam majalah sekolah dengan hadiah buku. Begitupun dengan karya-karya yang lain, ikut dicetak dalam majalah sekolah, tapi minus reward buku.

Tetapi dalam meriahnya acara itu, aku justru terpaksa menyendiri di sudut jembatan demi menghindari pertikaian.

Moza, rivalku di sekolah ini kembali berulah. Ia menyabotase karyaku dan mengklaim karyaku menjadi miliknya. Yang menang memang karyaku, tapi atas namanya.

Moza adalah putri dari politisi terkenal. Kekuatan orang tuanya jangan diragukan. Moza sejak kecil dididik dan dituntut untuk menjadi nomor satu. Tak heran jika dia melakukan itu semua agar tidak mendapatkan amukan ayah dan ibunya. Aku bahkan sempat melihat dan mendengar dia dimarahi habis-habisan waktu dia hanya mendapatkan posisi kedua tes olimpiade sains—perlu digaris bawahi, aku tidak ikut. Mengenaskan memang, tapi lebih menyesakkan bagiku.

"Fuh!"

Biarlah gadis itu merengkuh segalanya, semuanya. Lagi pula jika aku berkoar-koar di sana mengatakan kebenarannya, tetap tak ada yang percaya. Peran orang tua Moza sebagai donatur di sekolah ini, membuat nama Moza menjadi bintang, selalu dielu-elukan, selalu diistimewakan, terlebih Moza juga pandai, sering masuk best three dalam setiap pertandingan yang ia ikuti, bisa-bisa aku bukan saja terdiskualifikasi, tapi aku akan mendapatkan noktah hitam yang membuat kepakan sayapku dalam dunia literasi terpenjara.

"Penghargaan dan hormat itu milikmu." Seseorang berdiri tanpa permisi di sebelahku. Tak terlampau dekat, jarak di antara kami ada setengah meter. Ia mengulurkan sebuah kelapa muda yang telah diberi sedotan. Aku menerimanya.

"Dia pelagiat murahan. Dia hanya mengganti nama penulisnya saja. Jelas sekali dia tidak bisa menulis. Dia bahkan tidak bisa menerapkan konsep tell, tidak paham kaidah PUEBI dengan baik. Dia ..."

"Sudahlah, Kak. Biarkan saja," sergahku. "Lagi pula itu berarti tulisanku sudah layak dibaca. Dan nilai plusnya adalah, aku terbebas dari amukan Kak Eka." Aku tertawa. Tawa yang kuharap bisa menghibur sakit hatiku.

"Kau pikir aku bisa diam ..."

"Sudahlah, Kak. Aku malas membahasnya." Aku kembali meneguk air kelapa. Seolah abai. Namun sebenarnya hatiku terasa sangat perih saat mendengar Moza merendahkanku.

Dia sudah mencurinya, bahkan karyaku itu mampu membuatnya menang. Tidak bisakah ia mengendalikan mulutnya itu?

"Mit, aku nggak tahu apa yang ada dipikiranmu. Moza curang, Moza mencuri karyamu, sekarang dia menghinamu. Tapi kamu masih diam? Moza itu tidak waras."

"Kak Aarav tahu sisi positifnya bagiku? Karyaku akan naik cetak, dan aku tidak akan membuat Kak Eka murka karena tak mendengarnya untuk berhenti menulis. Karyaku akan dibaca orang, Kak. Sudah. Itu tujuanku menulis."

Kak Aarav menatapku sekilas lantas berjalan tak sabaran menuju kerumunan itu.

"Kak Aarav!" seruku mencoba menghentikannya.

Kak Aarav tak mengindahkan suaraku. Ia sama sekali tak mau mendengar.

Berurusan dengan Moza lantas meladeninya, sama dengan mengikat diri lalu melompat ke sumur. Tindakan yang bodoh. Lagi pun bagaimanapun akhirnya nanti, yang menang tetaplah karyaku, meskipun authornya atas nama Moza. Tak apa. Setidaknya dengan itu aku tak perlu mendapatkan amukan dari Kak Eka sebab masih berani mengikuti lomba ini.

Kak Eka adalah manusia yang sangat rasional. Ia tak menyukai hal-hal berbau imajinasi. Baginya hidup ini terlalu kejam, sekali meladeni imajinasi, maka kehidupan akan menggilas tanpa ampun. Tak ada kesempatan kedua. Jika telah lebur oleh keadaan hanya ada dua jalan. Memperbaiki atau semakin hancur. Sedangkan dunia tak memiliki tempat untuk mereka yang hancur. Kurang lebih seperti orang tua Moza.

"Ah!" pekikku tak tertahan ketika seseorang menarik ikat rambutku hingga terlepas, beserta beberapa helai rambutku.

"Kau tak waras Moza?" tandasku tak terima. Aku sudah memilih tutup mulut, menjauh. Mencoba memperbaiki suasana hatiku yang dirusak olehnya dengan mengolok-olok diriku.

"Kau pikir kau begitu hebat sampai berani meminta juri memeriksa ulang semuanya?" Matanya berapi-api.

"Aku tidak merasa demikian, namun jika iya, itu tak mengapa. Bukankah itu kenyataannya? Kau menang karena mencuri karyaku. Karyaku yang menang dan aku yang menulis. Jadi ..."

"Beraninya kau ...." Moza menggeram. Tangannya terangkat. Urung tangan itu mendarat pada wajahku, aku segera mencengkramnya. Erat.

"Kau boleh mengambil karyaku, menyabotase diriku, mengubah nama di sana menjadi namamu. Boleh. Tapi itu tak menutup fakta yang kau ketahui sendiri bahwa akulah pemiliknya. Penulis yang sesungguhnya."

"Beraninya kau!" Begitu liarnya, kedua tangan Moza menarik rambutku yang tergerai. Aku meringis. Sebelumnya Moza tak pernah segila ini. Gadis ini entah kerasukan apa.

"Sadar, Za!"

Kalian tahu kucing yang sedang berantem? Ya, seperti itulah visual kami sekarang.

"Aaaa!" pekikku tak tertahan kala tubuhku terpelanting dan menghantam udara kosong tanpa pijakan. Tubuhku bergelantungan di bawah jembatan.

"Moza, tolong aku!"

Moza segera merunduk. Mencoba meraih tanganku dan menariknya. Gagal.
"Aku nggak kuat!" Suara Moza terdengar panik.

"Panggil seseorang!"

Seketika Moza berdiri dengan tegak. "Apa kau gila? Apa kau kira aku bodoh? Aku tak akan memanggil siapapun!" Ia beranjak buru-buru, meninggalkanku di sini yang bertaruh antara hidup atau mati.

"TOLONG!!!"

Hening. Tak ada jawaban, hanya sorak-sorai sayup-sayup yang terdengar. Di bawah sana sungai dengan warna hijaunya nampak begitu tenang, seolah siap mendekap ku.

Aku menarik napas dalam-dalam, berteriak memanggil siapapun yang terlintas di pikiranku.

Aku menatap jeri ke atas. Tak ada tanda-tanda orang yang menghampiri.

Tanganku tarasa semakin tak berdaya. Akan sampai kapan aku mampu bertahan. Aku melihat ke bawah. Ada sungai berair hijau tanpa arus, yang tak diketahui berapa dalamnya. Tak diketahui hewan apa saja yang tinggal di sana. Namun itu sudah pasti sangat dalam.

Aku menghela napas. Merapalkan doa-doa sembari bertahan semampuku. Ketika tanganku tak mampu lagi menahan beban tubuhku, terlepaslah ia dari besi jembatan. Aku terjatuh.

Aku merasakan sensasi melayang yang sungguh-sungguh nyata, hingga akhirnya aku menyebutkan dua kalimat ikrar yang begitu suci. Memasrahkan segalanya pada Sang Pemilik Kehidupan.

Bum!

Air mendekapku dengan sangat mesra, saat semua orang memilih 'membuangku'.

Bersambung ...

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang