25

876 138 6
                                    

Aku menatap lekat-lekat rumah kayu tempo klasik milik Kapala Desa, sembari menanti seseorang keluar menemuiku dari sana. Aku telah membuat keputusan. Semoga saja keputusan ini tepat.

Sepanjang siang aku memikirkan tawaran ini, nasihat Nyi Laksmi dan perkataan pemuda Berjas. Boleh jadi, sarannya bisa aku praktekkan saat ini. Semoga saja resiko yang timbul nanti bisa diatasi, meskipun tak mudah tak apa, yang terpenting aku bisa pulang, meminta maaf pada Kak Eka. Jika memungkinkan barangkali aku bisa memaafkan diri sendiri.

Dua puluh lima prajurit bhayangkara memenuhi pelataran rumah Kepala Desa. Sebagian ada yang tengah berlatih senjata dan sebagian lainnya ada yang membuat senjata, bercengkrama. Tetapi Mada tak ada di sana, entah dia masih di rumah Nyi Laksmi atau kemana, aku tidak tahu.

"Hei, Ashmita! Kenapa kau tidak masuk?" seru salah seorang dari mereka. Aku tersenyum. Menggeleng. Aku tidak tahu namanya tapi dialah yang dahulu—saat mengetahui rencana Rakryan Kuti—aku tabrak hingga terjengkang, nyaris mendekap tanah.

Dari pintu, keluarlah Ratu Gayatri dengan kageman istananya. Anggun. Aroma kenanga menyeruak bersamaan dengan mendekatnya ia padaku. Ia menatapku dengan senyum hangat seperti tadi pagi.

"Apa keputusanmu?" Ia langsung menuntut jawaban bahkan tanpa menyilahkanku duduk—berdiri di tengah pintu beranda.

"Mohon maaf sebelumnya, Gusti Ratu. Apakah engkau bisa menjamin jika hubungan kami nanti tak lebih dari perawat dan pasien? Sebab saya masih khawatir jika Maharaja salah paham dan justru memperumit keadaan."

Ratu Gayatri tersenyum. "Aku tidak tahu dengan masa depan ataupun dengan perasaan kalian kelak. Namun jika kau memberikan syarat agar Jayanegara tidak bisa memberikan cintanya padamu atau menerima cintamu, aku bisa menjaminnya. Tak akan pernah ada kabar, saat ini ataupun nanti tentang pernikahan Jayanegara denganmu," ucap Ratu Gayatri penuh keyakinan.

Ada yang melega di hatiku. Aku senang dengan jawaban Ratu Gayatri. "Saya bersedia dengan tawaran, Gusti Ratu. Merawat Maharaja tanpa ikatan apapun kecuali perawat dan pasien."

Senyum merekah dari bibir Ratu Indreswari. "Terima kasih. Masuklah. Tabib dan Jayanegara telah menunggu."

Aku mengangguk. Mengikuti Ratu Gayatri dari belakang menuju kamar Jayanegara dirawat. Di sana, Jayanegara masih seperti kemarin, terkapar tak berdaya. Luka-lukanya bahkan belum mengering. Dalam beberapa jam saja tubuh Jayanegara mulai menyusut.

Aku melangkahkan kaki lebih dalam, namun pandangan tak mengenakkan dari Ratu Indreswari membuatku merasa bersalah.

Dengan segera aku tepis perasaan itu. Saat ini aku tak boleh mencampurkan perasaan dalam hal ini. Seperti yang Pemuda Berjas itu katakan, 'Dalam setiap keputusan memiliki risiko, dan tak setiap masalah benar adalah solusi terbaik,' kali ini aku telah memutuskan sesuatu. Mungkin ini kurang benar dan sangat beresiko bagi Jayanegara—bahkan mungkin bagi diriku sendiri. Tapi untuk menghentikan pergolakan ini, Jayanegara harus sembuh. Jika semua keadaan di sini sudah membaik, mungkin aku mulai bisa menebus banyaknya kesalahan yang aku perbuat.

Aku mendekat ke pembaringan Jayanegara. Ratu Narendraduhita dan Ratu Prajna Paramita menepi, memberikanku tempat untuk duduk di sisi Jayanegara. Di sana tabib sedang mengoleskan pasta obat pada luka-luka Jayanegara, sedangkan Ratu Indreswari membujuk anaknya untuk membuka mata.

"Jika terus seperti ini, Maharaja akan kehilangan nyawanya," ujar Tabib dengan wajah jeri menatap Jayanegara.

Dengan gemetar aku meletakkan tangan pada dahi Jayanegara. Panas. Pemuda ini demam. Sayup-sayup aku mendengar apa yang ia gumamkan sedari tadi, namaku.

"Iya, Maharaja?" bisikku lembut pada telinga Jayanegara. Sebelumnya aku tak pernah sedekat ini dengan Jayanegara.

"Ashmita?" Kini suara Jayanegara nampak lebih bernyawa.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Where stories live. Discover now