11

1.1K 193 2
                                    

Majapahit 1318

Dapur kedaton Majapahit cukup ramai dengan para pelayan yang tengah memasak untuk makan siang, namun pikiran dan hatiku jauh lebih riuh dibandingkan ini. Aku di dapur, duduk di sudut dengan menyisir jagung, namun nyawaku tak ada di sini. Aku jauh melamunkan kehidupanku di 2021.

"Aku tak tahu caranya, tapi aku akan berusaha mencari tahu Ashmita."

Perkataan Mada kemarin sama sekali tak meringankan apapun dalam diriku. Apalagi dengan tanggal yang aku lihat di layar ponsel. Aku telah satu bulan di sini. Satu bulan yang penuh dengan derita dan tekanan.

Andai aku masih di 2021, maka aku telah diwisuda. Aku akan sibuk dengan persiapan ujian masuk PTN, dan Kak Aarav juga akan membantuku dengan buku-bukunya. Kak Eka pun mungkin akan senang denganku saat aku memilih jurusan yang ia harapkan. Yeah, walaupun aku begitu menyukai sastra dan ingin masuk fakultas biologi, aku akan memilih prodi manajemen. Tidak nyambung, kan?

Sebenarnya semua bersangkutan, jika disangkutkan.

Bagaimana bisa aku memikirkan hal seperti itu? Tentu aku terinspirasi dari Kak Aarav. Ah, Kak Aarav, Kak Eka, aku merindukan kalian.

Di sana walaupun aku telah kehilangan ibu dan ayah, aku masih memiliki Kak Eka dan Kak Aarav. Seperti yang Kak Aarav katakan, walaupun Kak Eka nampak tak peduli, sebenarnya ia sangat peduli. Aku yakin akan hal itu. Bagaimanapun kami sedarah. Kami saudara. Kak Eka hanya memiliki aku dan aku pun sebaliknya.

Tuhan, aku ingin pulang. Bawa aku pulang. Aku ingin mendekap kakakku. Kakak yang telah mengasuhku selama ini. Bawa aku pulang, Tuhan.

"Ashmita!" Keras, melengking, memekakkan telinga. Lamunanku buyar seketika. Mendongak menatap orang yang sangat tak sopan itu.

"Apa yang kau pikirkan? Berkali-kali aku memanggil dan kau tak menyahut," keluhnya.

"Maaf."

"Maharaja menunggumu di belakang kadaton."

Aku mengangguk. Memberikan tanggung jawab membuat bubur jagung untuk Ratu Indreswari sementara waktu, lantas beranjak. Memenuhi perintah.
Tak bisakah kali ini Jayanegara tak berulah? Kali ini aku sungguh tak tertarik dengan drama baru dari keanehannya ini. Suasana hatiku sungguh tak bisa diajak kompromi.

Dari arah berlawanan ada rombongan prajurit tengah bersiap. Ada satu kuda di sana, tak lama patih Halayudha datang. Sekilas mata Halayudha menatapku tajam, lantas beranjak menaiki kuda. Agaknya ia yang akan memimpin. Beberapa saat kemudian mereka berangkat.

"Mau kemana?" tegur Mada tiba-tiba. Membuatku mengalihkan pandangan dari rombongan itu.

"Memenuhi panggilan rajamu," jawabku sekenanya.

Mada tertawa. "Lain kali jangan bicara seperti itu dihadapan orang lain atau mereka akan memberimu hukuman."
Aku mengangguk. Memang apa yang aku lakukan ini tidak sopan, hanya saja Jayanegara terus saja membuatku kesal. "Aku pergi dulu, sebelum masalah kembali datang."

Mada tersenyum, mengangguk. Aku kembali berjalan, begitupun dengan dia.
Melihat Mada yang aku temui ini, rasanya berbeda sekali dengan sosok Gajah Mada yang aku lihat di buku. Mada yang satu ini nampak lebih bersahabat. Sedangkan Gajah Mada yang aku lihat di buku terlihat selalu serius dalam segala hal.

Aku sampai di pekarangan belakang, Jayanegara sedang duduk di atas kursi bambu, menghadap taman. Aku menghampirinya ragu-ragu.

"Engkau memanggilku?" Jujur sebenarnya aku agak kurang nyaman bertemu dengannya. Apalagi pasca ia mencurigaiku sebagai mata-mata, bahkan berniat menghabisiku begitu saja.

Aku mengerti posisinya sebagai raja yang mana dalam pemerintahannya selalu dirundu masalah dan pemberontakan, tapi tetap saja apa yang ia simpulkan mengenaiku adalah kesimpulan buta. Jika aku mata-mata atau memiliki dendam kusumat dengannya maka sudah sedari awal aku lakukan. Bukan malah menerima tawaran ibunya sebagai dayang—lebih tepatnya pelayan pribadi.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang