32

722 133 4
                                    

Siang ini, saat semua sibuk dengan perayaan kemenangan, aku diam-diam pergi meninggalkan istana menuju grojogan.

Entah kenapa aku merasa saat ini Mada tengah berusaha menahanku di istana ini. Saat aku memintanya untuk mengantarku ke grojogan ia menolak dan menyuruhku tetap di sini sampai acara selesai.

Tapi, aku tak bisa. Bahkan saat aku mencoba bicara dengan Jayanegara untuk mengklasifikasi semua, ada saja halangan yang diciptakan Mada, seolah pemuda yang selalu mengkoar-koarkan janji kesatria itu hilang ingatan.

Tak lama setelah menyusuri jalan setapak menuju utara, aku mendengar suara mata air. Aku mempercepat langkahku, menyibak bentangan ladang dan sawah yang luas nan rimbun. Tak jauh dari area sawan dan perkebunan, aku menemukan grojogan itu. Grojogan tempat awal aku menginjakkan kaki di abad ini.

Dari sisi berlawanan aku mendengar suara kambing mengembik yang kian lama kian keras.

"Dhus, ojo melayu!" (Dhus, jangan lari) Pemuda di belakang kambing itu berlari dengan mengacungkan ranting, mengejar kambing. "Heh, mandek ke, Dus!" (heh, berhenti kau, Dhus!) seru pemuda itu kembali.

Kambing itu tetap berlari, bahkan melintas di depanku bak kilat, begitu cepat—kembali mengembik, seolah mengolok-olok pemiliknya.

Pemuda itu berhenti di depanku, napasnya tersengal. "Awas ke, Dhos! Kenek, dadi gule ke!" (awas kau, Dhos! Tertangkap jadi gulai kau!) selorohnya dengan tangan yang mengacungkan ranting sepanjang satu meter. "Dasar wedus kurang ados!" (Dasar kambing kurang mandi).

Aku menautkan alis atas kejadian itu.

"Eh, Mbak!" Pemuda itu menatapku, cengengesan. Sepertinya ia baru sadar bahwa kelakuannya sedikit keluar dari batas wajar manusia.

"Nanti kalau ketemu sama kambing itu langsung seret ke rumahku. Kambing itu benar-benar tidak tahu diuntung! Sudah dirawat, dibesarkan, diberi makan, malah kabur. Dasar kambing tidak punya perasaan, tidak punya pikiran, tidak tahu balas budi!"

Aku menepuk dahi. Pertama untuk opiniku yang sia-sia, kedua untuk betapa pandainya orang ini. Jika kambing punya perasaan, punya pikiran, bisa berbalas budi, maka apa bedanya kambing itu dengan dia?

Aku memutuskan mengangguk, mengiyakan ucapannya, lantas bergegas pergi. Meninggalkan orang aneh itu.
Grojogan sudah di depanku. Aku melangkah lebih dalam. Suasana dingin dan sejuknya begitu menentramkan. Aku tak mengira Grojogan ini sungguh indah. Jauh lebih indah dari apa yang aku lihat di mimpi—karena itu malam, hanya nampak gelap dan kelap-kelip cahaya temaram saja.

Mataku terpaku pada kedua pohon kembar. Jika diperhatikan dengan seksama memang dua pohon itu mirip dengan sebuah gerbang.

Aku mendekat, menatap jarak diantara kedua pohon itu. Di sana, dalam mimpiku, pernah nampak Kak Aarav dan Kak Eka.

Jarak antara aku dan dinding tak kasat mata kian terkikis. Setengah menit kemudian, aku tepat berada di depannya.

Inikah pintu pulang yang selama ini aku harapkan? Pintu besar yang dipahat udara bertahta oksigen.

Aku menghela napas.

Masalah terbesar di sini telah selesai, kan? Keraton Majapahit sudah baik-baik saja sekarang. Seharusnya memang iya. Semua telah baik-baik saja.

Perlahan aku mengulurkan tangan, menembus udara kosong. Tak ada dinding kasat mata ataupun portal.

Demi meyakinkan diri, aku melangkah melewati jarak diantara dua pohon kembar. Beberapa detik berlalu dan tak ada yang berubah. Aku masih di tempat yang sama. Masih belum yakin aku kembali melangkah ke sisi lain. Tetap sama. Kembali kuulang, hasilnya serupa. Tak ada perubahan apapun.

Urung kepalaku menyajikan kemungkinan, suara kambing memecahkan konsentrasiku yang disusul seruan nazar pemuda itu.

Di sisi grojogan tergelar sabana luas, di sanalah dua mahluk Tuhan yang berbeda jenis saling kejar-kejaran. Tanpa sadar bibirku mengukir tawa—lupa sejenak dengan keganjilan yang menimpaku.

Lihatlah kelakuan dua mahluk itu. Belum sempat aku meresapi pertunjukan konyol ini, kambing telah mengubah arah. Naas, taktiknya keliru. Pengembala itu telah memblokade seluruh jalan keluar. Takut-takut kambing itu melangkah mundur. Pengembala siap-siap menangkap sang kambing.

Aih, malang betul nasib pemuda itu. Kambing tak dapat, dia justru tercebur ke grojogan. Lihatlah pengembala basah kuyup, kambingnya justru kembali ke sabana, bergabung dengan kawan-kawannya dan menyantap rumput segar.

"Eh, hai Mbak Yu, kita bertemu lagi!" Pengembala itu melambaikan tangannya, nyengir lebar.

Aku tersenyum tipis menanggapinya, sedikit kaku. Jujur saja ini mulai horor. Aku takut jika pemuda itu memiliki jiwa yang kurang jangkep.

Tapi lihatlah, pemuda kurang waras mana yang berhasil menjebak kambing itu hingga sedemikian rupa sampai akhirnya berhasil dalam kendali. Kini pengembala itu tersenyum girang penuh kemenangan sembari menarik kambing yang telah menyusahkannya pergi. "Dadi gule ke sesok!" (Jadi gulai kau besok).

"Pergi dulu, Mbak Yu," pamit pemuda itu saat melintas di depanku—aku sudah pindah ke bibir sungai dan duduk di salah satu batu cadas yang nyaman diduduki.

Aku mengangguk takzim.

Sedetik kemudian grojogan nampak lengang. Fokusku mulai tertuju pada portal itu. Dengan cepat aku mencari jawaban di otakku. Aku pernah mengetahui sesuatu tentang portal ghaib. Aku berpikir keras.

Ah, aku mengingatnya di YouTube. Aku pernah menonton sebuah chanel yang menampilkan gerbang antar dimensi. Pembawa acaranya, yang merupakan memiliki keistimewaan indera dan kepekaan berlebihan pernah mengatakan bahwa portal ghaib akan terbuka saat matahari terbenam, dan akan mencapai puncaknya saat tengah malah hingga pukul satu dini hari.

Iya, aku akan mencobanya lagi nanti malam. Toh, tak ada salahnya dengan mencoba.

Urung aku beranjak, tempias air yang terjun dari dataran tinggi itu membuatku berpikir ingin main air sebentar di sini. Setidaknya aku tak perlu mencium bau anyir pasca peperangan itu. Sembari bermain air, aku mengigat perkataan Pemuda Berjas di mimpi. Ia mengatakan portal ini tak pernah tertutup, semua bisa melintas asal memiliki 'sandi', tapi pada kenyataannya?

Baru di sini saja mimpi itu telah begitu meragukan, apalagi kedepannya nanti. Namun aku tidak memiliki petunjuk lain. Hanya mimpi itu, sumber yang sangat amat tak solid untuk dipercaya.

Aku menghela napas.

Tak ada salahnya mencoba. Jika mimpi itu terbukti sebatas mimpi biasa, maka aku harus mencari jalan lain.

Matahari mulai tumbang di bagian barat. Semburat jingganya membungkus Kotaraja. Aku harus segera pulang atau istana akan kembali gempar.

Dalam perjalanan pulang, di bawah langit senja, pikiranku berkelana pada sandi—karena hanya itu yang bisa dipikirkan otakku untuk segera kembali.

Aku ragu apakah aku sudah mendapatkan sandi itu ataukah belum, atau justru sandi dan segala mimpi ini sebatas bunga tidurku.

Tetapi, terlepas dari berakhirnya pemberontakan ini, aku belum bisa memaafkan diriku. Satu sisi aku ikut senang dengan ditumpasnya para pemberontak, tapi sisi lainnya, kekacauan yang ditimbulkan adalah harga yang mahal. Apalagi untuk Nyi Laksmi, ia harus kehilangan satu-satunya orang yang menjadi temannya dalam hidup ini.

"Iki, mangano seng akih, ben ayem pas tak sembeleh!" (Ini, makanlah yang banyak, supaya tentram saat aku sembelih!) Mendengar suara itu sontak aku menoleh.

Pengembala itu belum rampung juga dengan kambingnya. Ia telah berganti pakaian, kambing telah diikat, tapi lihatlah Pengembala berkacak pinggang seperti guru BK yang tengah mengintrogasi murid yang ketahuan masuk lewat pagar sekolah.

"Eh, Mbak Yu lagi," sapa Pengembala itu.
Aku tersenyum. Tapi sekejap senyumku surut. Setelah beberapa kali bertemu, kenapa aku baru menyadarinya?

Lihatlah, wajah Pengembala itu, lihatlah lesung di kedua pipinya, lihatlah caranya tersenyum.  Bagaimana aku tak menyadarinya?

Bersambung

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Where stories live. Discover now