"Eh Ma, nggak usah. Gaya mau pulang pergi aja. Nggak bakal nginep segala."

"Eh ...." Mama melotot. "Harus nginep. Setidaknya beberapa hari sebelum interview. Biar kamu siap-siap dulu. Biar fit. Pokoknya harus nyiapin banyak hal!"

Tanpa mendengar ucapan saya lagi, Mama tergopoh dari dalam kamar.

Setelah Mama keluar dan heboh bertelepon dengan adiknya di Jakarta sana, saya kembali berjalan ke arah ranjang. Melihat ponsel yang sudah kembali senyap. Saya mengecek satu-satu informasi yang masuk. Ada pula chat dari Meta yang cukup banyak.

Gaya, kenapa nggak diangkat-angkat. Lagi sibuk?

Gay, aku cuma mau pamit. Tadi belum sempat ketemu. Angkat dong!

Gayaaaaaa! Awas ya kalau ngilang! Aku jadi khawatir.

Gayaaaaaa, kamu marah ya gara-gara aku pindah?

Pertama kali bertemu dengan Meta, saya yang selalu ngejar-ngejar. Tebar pesona. Pokoknya, apa pun saya lakukan supaya mendapatkan perhatiannya. Sekarang bisa dilihat perbedaannya. Saya mendapatkan balasan. Meta nggak sungkan lagi nge-chat banyak-banyak kayak gini.

Awalnya, saya masih ngeyel dengan keputusan untuk tidak mengangkat telepon atau mengobrol dengan Meta. Tapi setelah membaca chat yang masuk, sepertinya saya memang harus membalas. Ngetik nggak sama dengan ngomong kan? Saya masih bisa bersembunyi di balik ketikkan jempol sendiri.

Rindu ya? Saya habis pulang kerja, Met, jadi baru bisa ngasih informasi sekarang. Oh iya, kamu baik-baik di sana ya. Kalau mau ketemu, jangan sungkan buat ngehubungi. Si ganteng kalem ini akan selalu ada buat kamu.

Sebelum benar-benar mengirim pesan, saya membaca ulang tulisan itu. Muncul keraguan di sana. Tampaknya, saya terlalu ramah, atau lebih tepatnya, terlalu banyak gombalan yang saya sendiri merasa nggak yakin dengan gombalan itu.

Tulisan itu harus dihapus lagi.

Saya baik-baik saja, Met. Oh iya, semoga kamu bahagia di tempat baru, ya.

Kirim.

Mengirim chat ke Meta sudah seperti akan mengirim anak panah.

Belum sempat merasa tenang dengan keputusan yang saya ambil, ponsel berdering lagi. Saya nyaris melemparkan benda itu ke lantai. Tapi saat terpampang jejeran nomor di layar, saya memilih menarik kembali benda tersebut. Nomor baru?

Pelan, saya mengusap layar yang berkedip-kedip, tanda saya mengangkat telepon itu.

"Hallo ...."

Itu suara laki-laki! Saya sampai mengerutkan kening karena tidak terlalu mengenal suara itu.

"Siapa?" tanya saya.

"Praha."

"Oh ...." Bibir saya mendadak kelu. "Praha temannya Meta?"

"Ya."

"Ada apa?"

Terdengar dehaman cukup keras. Setelahnya, disusul ucapan Praha yang penuh percaya diri. Tentu, kepercayaan diri Praha nggak bisa diterima dengan baik oleh telinga saya. Seolah ada kerikil yang menghalangi, saya sedikit linglung dengan segala penjelasan. Hingga saya sadar jika Praha hadir sebagai salah satu pertanda lagi, tentang kelanjutan hubungan saya dan Meta.

***

Saya sempat menyorot mata Praha yang bulat dan tajam sebelum akhirnya mendeham. "Jadi, apa yang membuat saya diajak ketemu?" Saya mengambil air mineral yang sudah ada di atas meja. "Ini buat saya kan?"

Praha mengangguk, senyumnya terulas meski samar. "Nggak mau mesen sesuatu dulu?"

"Saya tidak yakin Anda mau berlama-lama dengan saya." Kedua alis saya terangkat. "Jadi, apa yang mau Anda bicarakan tentang Meta?"

Saya melihat Praha menegak. Sama seperti saya, sepertinya dia juga gugup. Atau lebih tepatnya, dia tidak mau kehilangan harga diri di depan saya?

"Anda sudah tahu kan kalau Meta pindah tempat?" tanyanya.

Sebutan 'anda' yang terlontar membuat saya ingin tertawa. "Tentu."

"Tahu juga tempat tinggalnya yang baru?" Praha menyambung lagi.

"Di apartemen kan?"

"Ya, di Apartemen Kenzo. Kamarnya sebelahan sama kamar saya."

"So?" Alis saya terangkat.

"Anda nggak perlu repot-repot lagi buat ngejagain Meta. Dia aman sama saya. Dia ...."

"Anda kebakaran jenggot?" Saya terkekeh pelan. Ruangan café yang cukup sepi ini serasa tempat pertarungan yang dilakukan hanya dengan kekuatan ucapan.

"Bukan kebakaran jenggot," tawanya nggak kalah keras. "Saya hanya menegaskan. Lagi pula, saya sudah mendapatkan restu dari Pak Madi. Sekarang, saya mendapatkan tugas untuk menjaga Meta."

"Oya?" Saya pura-pura santai, padahal jauh di lubuk hati, saya mulai merasa jengkel.

Praha mengotak-atik ponselnya sejenak, lantas menunjukkan tangkapan gambar berupa isi chat dari sebuah kontak bernama Mertua. Bahkan kontak Pak Madi pun dinamai mertua tanpa ada embel-embel calon. Saya menelan ludah saat membaca chat itu.

Saya kasih kesempatan kamu untuk bersama Meta. Saya percaya, kamu bisa menjadi laki-laki yang serius dan bisa menjaga Meta dengan baik.

"Sudah percaya?"

Saya tak mengiyakan.

"Kalau bisa, hapus nomor Meta. Jangan hubungi dia lagi," sambung Praha.

"Ada lagi?"

"Sudah cukup."

Tanpa basa-basi, saya berdiri, kemudian menyimpan uang seratus ribu di atas meja sebelum benar-benar pergi. "Segini cukup ya buat air mineral?"

"Nggak usah. Biar saya yang ...."

"Saya memang kekurangan dukungan untuk bisa bareng Meta, tapi kalau masalah uang, saya masih mampu."

Praha menatap ragu. Dia seperti akan berkata-kata, tetapi suara itu tak kunjung terlontar. Saya hanya melihat jika ekor matanya tersorot jauh ke luar café.

"Oh, satu lagi. Meta paling nggak suka dikekang," ucap saya sebelum benar-benar pergi dari tempat itu.

***

Meta itu lebih cocok sama Gaya atau Praha?

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now