14 || Hidup

Mulai dari awal
                                    

Ada satu pertanyaan mengenai kehidupan. Mengapa hidup bisa dibilang hidup saat kita bahagia? Apakah hidup hanya tentang kebahagiaan? Apakah terluka dan gagal akan menjadikan hidupmu tak berarti?

Apakah sesak akibat semua trauma masa lalu tidak bisa dikatakan sebagai hidup?

Lantas kenapa kita harus berpura-pura bahagia? Bukankah melakukan itu adalah hal untuk bertahan hidup.

Bahagia adalah satu kata berjuta sarat. Kita memiliki hak untuk bahagia dalam hidup, tapi jika terluka apakah itu salah orang lain yang melukai kita atau salah kita karena mengizinkan diri kita terluka?

"Kenapa harus pura-pura baik? Lo bisa tunjukkin sifat asli lo di depan gue!" seru Cio diikuti senyuman miring tersungging. Laki-laki berkulit putih itu duduk pada pembatas gedung menghadap ke arah Janu yang menatapnya heran.

"Turun! Lo ngapain duduk di situ?" kata Janu.

Sedang Cio tidak menghiraukan perkataan Janu. Wajahnya tersenyum menatap sekelilingnya. Seragamnya berkibar menandakan angin cukup kencang berada di atas atap. "Maureen, dia mati di sini?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Cio. Matanya menatap Janu.

Janu yang merasa pertanyaan yang Cio lontarkan itu mengarah padanya sontak mengerutkan alis bingung. "Kenapa? Lo mau nyusul dia?"

Pertanyaan sarkas dari Janu yang tidak biasanya membuat Cio tertawa renyah. "Ternyata bener, ya? Lo pelakunya, 'kan?"

"Atas dasar apa lo bilang kalo gue pelaku?" tanya Janu lagi. Ia menatap sekeliling lantas merapatkan tungkainya saat angin berembus kencang, kemudian netranya melirik ke bawah, jantungnya mendadak berdebar dua kali lipat membuat dadanya sedikit ngilu.

SMA Anindita memiliki 4 lantai yang berarti cukup tinggi jika seseorang berdiri di atas atap. Janu sebenarnya tidak begitu takut akan ketinggian, ia hanya takut tidak bisa menahan dirinya sendiri karena berisiknya pikiran yang ada di dalam kepala untuk menyuruh Janu melompat.

Kira-kira apa yang akan terjadi jika Janu melompat?

Siapa yang akan menangis jika ia mati?

Bagaimana rasanya mati?

Mungkin beberapa orang akan kehilangan Janu sebagai murid terpopuler di sekolah. Mereka akan merindukan hangatnya perhatian laki-laki itu. Lantas sehari, dua hari, untuk beberapa hari ke depannya lagi Janu bisa dilupakan. Karena begitulah kehidupan. Ia terus berjalan tidak menunggumu meski masih dalam keadaan sungkawa.

"Gak ada manusia yang bener-bener sempurna. Lo sendiri, apa rahasia lo Janu?" tanya Cio lagi. "Lo pinter, lo berduit, keluarga lo lengkap, lo dipenuhi kasih sayang sama orang-orang di sekeliling lo. Gue penasaran, hal buruk apa yang pernah menimpa lo?"

"Jadi gini cara lo nuduh Dafi tanpa bukti? Dengan menilai kehidupannya?" Janu balik bertanya. Menatap Cio yang jauh beberapa meter, tak berani mendekat. "Kalo gue kasih tau rahasia gue, jelas itu bukan rahasia lagi namanya."

Cio tersenyum mengejek, mengangkat satu alisnya. "Apa lo bakal bunuh gue setelah ini?"

"Kenapa gue harus bunuh lo? Turun Cio! Jangan kayak anak kecil." Janu berbalik ingin meninggalkan Cio sendirian, tapi langkahnya mendadak berhenti ketika Cio kembali bersuara.

"Terus kenapa lo bunuh mereka?"

"Gue gak pernah bilang kalo gue bunuh mereka," jawab Janu kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan Cio sendirian di atap. Membiarkan Cio merenungkan segala jawaban dari Janu.

-𖧷-

"Gat! Ke rumah Janu, yuk!"

Wajah Alfa terpampang jelas pada layar ponsel Gata yang sengaja Gata dirikan bersandarkan buku-buku di atas meja belajarnya. Sedangkan Gata si empu ponsel sibuk memasukkan jari telunjuknya ke dalam lubang hidung. Di pangkuan Gata terdapat gitar berwarna coklat muda.

RECAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang