33. Dimulai Dari Hati

43.5K 5.7K 108
                                    

"Kamu tahu, papa susah payah menghidupi kamu dari kecil. Membesarkan kamu dengan penuh harap! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu justru memilih jalan seperti ini!"

"Pa...."

"Dengan kamu kaya gini, sama saja tidak menghargai usaha papa."

"Tapi... Luna mau sama papa aja."

"Nggak! Papa nggak mau bersama anak yang tidak menganggap Tuhan. Ingat Luna, di luar sana masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah dibanding kamu."

"Kuat nak! Bertahan demi papa. Papa nggak mau hidupmu sengsara matimu juga sia-sia."

"Jangan pernah temui papa jika kamu masih seperti ini. Keputusanmu membuat papa sedih, marah, kecewa dan muak.. Jangan salahkan papa kalau tidak bisa memaafkan kamu!"

Luna tersenyum miris kala mengingat pertemuan itu. Pertemuan lewat mimpi panjang yang terasa menyesakkan.

Mimpi yang akhirnya membawa Luna keluar dari masa kritis, karna percobaan bunuh diri, yang ia lakukan tiga tahun silam.

Luna tahu sang papa benar-benar marah. Perempuan itu paham betul bagaimana kecewanya Robi. Karna itu, tepat satu minggu setelah ia sadar dari koma, Luna memutuskan untuk meninggalkan hingar-bingar ibu kota.

Menepi sejenak untuk berobat, terapi, sekaligus menenangkan diri. Kediaman adik Robi di Solo, menjadi pilihannya.

Luna kembali tersenyum miris, mengingat bagaimana ia memaksa diri untuk menahan rindu pada Robi.

Selama tiga tahun di Solo, Luna tentu tidak datang ke makam pria itu. Selain jarak yang cukup jauh, Luna juga merasa malu pada sang papa, karna keputusan konyolnya. Perempuan itu sangat takut, kalau Robi belum bisa memaafkan dirinya.

Drtttt..

"Hallo, Tam."

"Lo udah sampai mana?"

"Gue udah di taksi, Tam. Ini perjalanan ke rumah."

"Astaga Luna! Kok nggak minta jemput Elang aja sih."

"Nggak usah kali Tam. Tadi karna pak Sunan masih repot ngurus Resto, gue langsung pesan taksi. Udah tenang aja, gue aman kok. Lo jangan teriak-teriak gitu, abis lahiran bisa lepas semua tuh jahitan!"

"Oke deh, yang penting lo pulang dengan selamat. Sampai rumah istirahat. Besok lo harus ke rumah gue, ponakan lo yang cakep ini udah nggak sabar ketemu onty-nya." Ucapan cerewet Tami membuat Luna terkekeh pelan.

"Iya, mau dibawain apa?"

"Nggak usah! Lihat lo pulang dengan bahagia udah cukup buat gue sama Elang."

"Ya udah, gue tutup ya. Ini hampir sampai, ntar gue telfon lagi."

"Oke Lun, See you next time!"

Luna kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menarik beberapa lembar uang dari dompetnya.

"Makasih ya pak." Serunya pada sopir taksi, setelah kendaraan yang ia tumpangi tiba di tempat tujuan.

"Sama-sama mbak,"

Perempuan itu beranjak turun, lalu memandang lekat pada tempat yang ia pijak sore ini.

Luna menghela nafas berkali-kali, berusaha mengurangi kegugupannya. Tepat di tempatnya berdiri kali ini, Luna akan melebur semua kerinduan yang sudah ia tampung bertahun-tahun pada Robi.

Ia tersenyum kecil. Dalam kondisi yang sudah sehat dan siap, perempuan itu yakin Robi pasti mau menerima kehadirannya lagi.

Setelah menitipkan koper berisi pakaian ke masjid, Luna berjalan cepat menuju tempat peristirahatan Robi dan Tamara. Berbekal dua buah bucket bunga untuk oleh-oleh, dirinya begitu antusias melangkahkan kaki.

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang