8. Dua Sisi

49.5K 6.6K 281
                                    

"Bapak tidak pa-pa?" Sahut seseorang dari arah belakang kursi yang tengah ia duduki, sembari menyerahkan sebungkus tissue padanya.

"Ah ya, ti-tidak... Tidak, saya baik-baik saja. Terimaka... kamu??"

Keduanya sama-sama tercenung dengan mata yang saling bertatapan. Hingga kesadaran menghampiri keduanya setelah beberapa saat sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ekhm, kalau tidak salah... Anda pak Robi ya?"

"Eh, iya betul saya Robi." Ujarnya cepat sembari menghapus air matanya yang masih membasahi pipi.

"Mari silahkan duduk," Titah Robi, pria paruh baya itu menggeser posisi duduknya memberi tempat pada Laki-laki yang tadi menghampiri.

"Ka-kamu ini Rayhan ya? Teman Luna dulu saat SMA? Anaknya bu Viani?" Rayhan mengangguk kaku, meski seperti malas mengakui Luna sebagai temannya.

"Ke sini ngapain?" Tanyanya basa-basi.

"Saya baru saja mengunjungi makam kakek dan nenek."

"Oh begitu. Lama sekali tidak bertemu, bagaimana kabar keluarga?"

"Baik pak, kebetulan saya dan mama sempat tinggal di Singapura, baru kembali lagi sebulan yang lalu." Robi mengangguk paham.

"Dulu, saya sering bertemu mama kamu setiap ada acara di sekolah kalian. Kita banyak ngobrol, apalagi saat rapat wali murid." Ujar Robi dengan canggung.

"Mama adalah orang yang selalu siap berangkat setiap ada undangan wali murid. Sesibuk-sibuknya, dia selalu menyempatkan kalau itu untuk kepentingan sekolah. Apalagi, papa tidak mungkin mau hadir, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan selingkuhannya." Seru Rayhan ketus, sontak membuat Robi terdiam.

Ucapan laki-laki di sampingnya seperti sindiran telak bagi Robi. Terlebih, keduanya terakhir bertemu saat berada di rumah sakit. Ketika Robi mengurus Tamara, sedangkan Rayhan mengurus Galang.

"Atas nama istri, saya minta maaf untuk kesalahan dia di masa lalu." Ujar Robi dengan tulus.

Rayhan terdengar menghela nafasnya.

"Andai bisa dibangkitkan lagi, saya lebih senang jika Tamara sendiri yang meminta maaf." Raut wajah Robi berubah. Rayhan tentu menyadari itu.

"Bapak sendiri sedang apa di sini, lalu kenapa menangis?"

"Ah, saya memang rutin ke sini, paling sering seminggu sekali untuk datang ke makam istri saya."

"Wow! Sangat setia, bahkan setelah kejadian itu bapak masih punya cinta untuk seorang pengkhianat." Robi hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Rayhan.

"Kenapa menangis sampai segitunya? Bukan maksud saya ingin mencampuri urusan orang lain, tapi rasanya cukup aneh melihat ada yang menangis sendirian di tempat seperti ini." Rayhan menatap sekeliling, kali ini dua orang itu sedang duduk berdua di serambi masjid yang letaknya tidak jauh dari area makam.

"Saya menangis karna sangat bahagia. Untuk kali pertama setelah sekian lama, akhirnya putri saya mau datang ke makam mamanya." Rayhan tercenung.

"Mak-maksud bapak Luna?"

"Iya, kamu tahu sendiri putri saya hanya dia." Ujarnya dengan senyum lebih lebar.

"Apa selama ini dia tidak pernah datang ke sini?" Robi menggeleng.

"Sejak kejadian itu, Luna sangat membenci mamanya. Ah, sejak kecil dia memang tidak begitu dekat dengan Tamara. Wanita itu cukup sibuk di karier, sehingga tidak punya banyak waktu untuk mengurus putri kami." Ujar Robi sembari menghela nafas.

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Where stories live. Discover now