10. Musuh Tapi Menolong

50.9K 6.3K 38
                                    

"Masuk!" Terdengar suara seseorang, dari dalam sebuah mobil hitam mewah yang kini berhenti tepat di depan Luna.

Sejenak kegusaran Luna teralihkan menjadi rasa kesal. Mau apa lagi sih orang ini! Hobi banget cari masalah.

Luna hanya diam sembari melengos, menunggu taksi yang sejak tadi ia pesan.

Sudah hampir setengah jam Luna berdiri di depan Kantor Rayhan, sejak perempuan itu keluar dari ruangannya. Namun taksi yang ia pesan lewat Tami tidak juga datang. 

"Mau berdiri berapa lama lagi di situ? Masuk!"

"Nggak!" Tolak perempuan itu. Jujur, Luna butuh sekali tumpangan yang mau mengantarkannya saat ini agar bisa cepat mengetahui kondisi Robi. Tapi Rayhan, Ah... Luna tahu betapa bencinya laki-laki itu padanya. Dia justru takut jika Rayhan mengerjai atau ini dijadikan ajang balas dendam.

Namun tampaknya, Rayhan habis kesabaran. Laki-laki itu turun dari mobilnya lalu menarik Luna ke dalam sana.

"Lepas! Kamu mau culik aku ya!" Teriak Luna keras sembari meronta dalam dekapan Rayhan.

Rayhan acuh kemudian mengunci sisi mobil agar perempuan di dalam sana tidak bisa ke mana-mana.

"Kamu mau bawa aku ke mana? Aku harus segera nyusul papa, kalo kamu ada niat balas dendam bisa lain waktu!" Amuk Luna di dalam mobil. Dia tidak peduli pada apapun yang bisa saja rusak akibat terkena sasarannya.

"Diam, atau aku ikat kamu!" Ancam Rayhan sembari menarik gulungan tali panjang di kursi belakang.

Dengan nafas yang masih tidak beraturan dan tubuh gemetar, Luna memilih menurut.

Air matanya terus turun, satu sisi khawatir akan kondisi Robi, di sisi lain dia begitu takut berada satu mobil dengan Rayhan.

Drrttt..

"Hallo Tam?"

"Hallo Lun, ini sopir taksi yang tadi gue pesenin kasih kabar, katanya lo udah nggak ada di tempat, lo di mana sekarang?."  Luna mendesah berat sembari melirik takut-takut ke arah Rayhan.

"Ekhm, Tam.. To-tolong cancel aja."

"Loh, lo udah di jalan?"

"I-iya, gue udah di jalan." Jawab Luna meski dirinya juga tidak tahu Rayhan akan membawanya ke mana.

"Tam, gue titip Resto ya. Beberapa hari ini mungkin gue nggak ke sana."

"Lo mau ke mana Lun? Si anaknya Galang nggak bikin lo kenapa-napa kan?"

"Papa masuk rumah sakit Tam, ini gue juga belum tahu kondisinya, nanti gue kabari lagi ya."

"Astaga, pak Robi kenapa? Oke-oke kalo ada apa-apa kasih kabar gue secepatnya. Jangan lupa kirim lokasi biar gue bisa cepat susulin lo kalo terjadi sesuatu."

"Iya, Thanks Tam."

Luna hanya bisa berpasrah diri di dalam mobil yang terus melaju. Dengan kondisinya yang tengah panik, takut, cemas dan kalut, Luna terus menerus merapalkan doa agar kondisi Robi baik-baik saja.

"Benar ini kan tempatnya?" Luna tergagap.

Entah berapa lama perempuan itu larut dengan pikirannya yang kacau, Luna sampai tidak sadar, mobil Rayhan sudah berhenti tepat di depan bangunan besar bercat putih.

Ada tulisan dalam banner 'Rumah Sakit Medika Utama' Luna menatap sekeliling dengan perasaan tidak percaya.

"Kamu nganterin aku?" Ujarnya tidak yakin.

Rayhan mendengus angkuh. "Turun." Titahnya datar.

Tanpa menunggu komando dua kali, Luna dengan cepat keluar dari mobil menuju ke arah lobi.

"Selamat pagi Mbak, apakah ada informasi pasien atas nama Robi Basuki?" Tanya Luna pada petugas yang tengah berjaga.

"Ini dengan siapa?"

"Saya Luna Basuki, putrinya."

"Oh sebentar ya mbak saya cek." Luna mengangguk.

"Betul mba, pasien atas nama Robi Basuki masuk ke sini tadi pagi pukul sembilan setelah pingsan. Sudah mendapat penanganan dari dokter, dan langsung dipindah ke ruang ICU."

"ICU?"

"Iya, keperluan administrasinya sudah diurus asisten pribadi pak Robi yang tadi mendampingi."

Ah pasti pak Sunan. Pikir Luna.

"Saya bisa lihat kondisi papa?"

"Ruang ICU berada di sisi belakang sebelah taman itu. Jika ingin sekedar melihat dari luar bisa langsung ke sana. Untuk sementara kita tunggu keputusan dokter, apabila ingin mengunjungi langsung ke dalam ruangan."

"Baik mbak," Luna berlari cepat mendekati ruangan yang dimaksud. Dalam kondisinya sekarang, Luna lagi-lagi tidak sadar Rayhan masih membuntutinya.

"Pak Sunan?" Panggil Luna membuat pria dewasa di depan ruang ICU itu berdiri.

"Mba Luna.. Saya menunggu mbak, sejak tadi."

"Papa gimana pak? Apa yang terjadi tadi? Kenapa sampai harus masuk ke ruang ICU?" Asisten pribadi sekaligus sopir Robi itu terdiam sejenak sembari menghela nafas.

"Tadi pagi saat perjalan ke acara peresmian, Pak Robi sudah mengeluh jika dadanya nyeri. Saya bilang untuk ijin saja, tapi beliau tidak mau, katanya menghargai para tamu undangan. Setelah sampai dan baru saja keluar dari mobil, Pak Robi langsung jatuh dan pingsan."

"Terus, pak Sunan udah ketemu dokter? Dokternya bilang apa?" Pak Sunan kembali terdiam.

"Mbak, sebenarnya... Pak Robi, pak Robi sudah lama mengidap kelainan jantung." Jelas pak Sunan dengan nada ragu.

"Kelainan jantung? Mak-maksud bapak?"

"Bapak rutin berobat dan terapi. Selama ini, saya yang selalu mengantar beliau bertemu dengan dokter-dokter spesialis."

"Papa itu sehat-sehat saja pak. Selama ini saya nggak pernah lihat papa kesakitan."

"Bapak memang sengaja melakukan ini, meminta saya merahasiakan penyakit beliau terlebih pada mbak Luna, bapak bilang jika tidak ingin menambah beban hidup mbak Luna."

Duar!!

Luna seperti ditampar, bahkan penderitaannya selama ini tidak ada apa-apanya dibanding informasi yang baru saja ia dapat.

Kedua kakinya lemah hingga luruh ke lantai. Dibantu pak Sunan, Luna akhirnya duduk di kursi tunggu dengan tangisnya yang semakin menjadi.

Rayhan masih di sana, merasakan nyeri yang sama, namun tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mematung sembari menatap dua orang yang tengah serius dengan pembicaraan mereka. Tidak banyak lalu lalang orang di depan ruang ICU, menambah kesan sepi dan sedih itu nyata terasa.

Sekilas ingatannya berlari pada kejadian sore, di mana Rayhan tidak sengaja bertemu Robi. Hampir dua jam berada di area pemakaman untuk berbincang-bincang dengan Papa Luna, kesadarannya tersentil saat ucapan terakhir beliau yang sempat dianggapnya tidak penting, kini justru terngiang-ngiang.

"Saya sangat takut, di umur saya yang semakin tua.... Saya takut tidak sempat melihat anak perempuan saya menikah."

"Saya benar-benar takut, saat saya pergi nanti, belum ada sosok pengganti yang akan menjaga dan melindungi dia."

Rayhan ingat betul, Kala itu Robi Berkali-kali mengucapkan perasaan takut padanya.

"Kenapa pak Sunan nggak pernah bilang pada Luna, saya ini anaknya. Apapun yang terjadi pada papa, saya harus tahu lebih dulu."

"Maaf mbak," Ujar pak Sunan dengan nada menyesal.

Laki-laki yang sudah bekerja pada Robi hampir duapuluh lima tahun itu, juga terlihat sangat terpukul dengan kondisi atasannya.

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Onde histórias criam vida. Descubra agora