11. Pengorbanan

49.3K 6K 46
                                    

"Papa," Panggil Luna lirih di samping tempat tidur yang kini Robi tempati.

Setelah beberapa jam menanti, akhirnya Luna bisa masuk juga ke ruangan di mana papanya dirawat.

"Papa bangun..." Pintanya dengan nada penuh permohonan.

"Luna terpukul melihat papa yang selalu kuat, selalu jadi pelindung buat Luna.... Sekarang justru terbaring lemah seperti ini." Isak tangis perempuan itu beradu dengan suara pengukur detak jantung.

"Sebagai anak, Luna merasa sama sekali tidak berguna... Bahkan dengan kondisi papa yang selama ini ternyata nggak baik-baik aja, Luna nggak bisa memahami."

"Pa... Luna takut..." Genggaman tangannya di jemari Robi semakin kuat.

Di hidup Luna, Robi adalah laki-laki yang sangat berarti. Sekeras apapun dan sekejam apapun dunia menggempurnya, Luna selalu merasa aman jika masih ada Robi di sampingnya.

Namun... Keterangan Dokter tadi membuatnya terpuruk. Kondisi Robi dari pagi hingga sore ini belum ada perkembangan malah justru menurun.

Perempuan itu hanya mampu berdoa dan menepis segala kemungkinan-kemungkinan buruk di kepalanya.

Waktu yang dokter berikan padanya sangat terbatas. Bahkan tidak terasa sudah habis, mau tidak mau Luna harus keluar. Sembari mengusap sisa air matanya, Luna berjalan pelan lalu menutup pintu ruangan.

Dirinya termangu ketika mendapati Rayhan masih duduk di kursi tunggu.

"Kok kamu masih di sini?" Tanyannya sembari mendekat.

"Dari tadi aku di sini!" Ujar laki-laki itu.

"Pak Sunan mana?"

"Dia pulang, ada beberapa dokumen yang harus diberikan untuk keperluan administrasi lanjutan. Aku juga minta pak Sunan buat ambilin kamu baju ganti." Luna mengangguk, benar saja, tadi dokter juga meminta beberapa dokumen sebagai pelengkap administrasi.

"Terus kamu ngapain masih di sini? Pulang sana. Thanks udah nganterin, nanti kirim aja tagihan uang bensinnya ke Restoran."

Mendengar perempuan itu kembali cerewet, Rayhan hanya berdecak. Tangannya mengulurkan kantong plastik ke arah Luna.

"Nih!"

"Apa?"

"Makan!"

"Aku nggak lapar." Tolak Luna, lalu duduk bersandar di kursi tunggu.

"Nggak lapar tetap harus makan, nunggu orang sakit butuh tenaga ekstra. Kondisinya harus lebih sehat dari yang ditunggu."

"Jangan karna terlalu sedih jadi lupa ngisi tenaga." Luna mengernyit, untuk apa laki-laki itu peduli?

"Ini nggak kamu kasih racun, kan?" Tahu bagaimana Rayhan begitu membencinya, membuat perempuan itu sulit sekali berfikiran positif.

Rayhan hanya diam, laki-laki itu sontak membuka makanannya sendiri dan makan dengan cepat.

Melihat laki-laki di sampingnya makan dengan lahap, perut Luna ikut meronta. Menepis ego dan gengsi, Luna akhirnya membuka nasi yang Rayhan berikan.

"Aku udah dapat penginapan sekitar sini, jaraknya nggak jauh, cuma sekitar limapuluh meter dari rumah sakit."

Luna mengernyit, "Penginapan?"

"Iya, selama nungguin pak Robi di sini, kamu perlu penginapan untuk istirahat." Sela Rayhan.

"Nggak, aku mau di sini aja. Nggak usah ke mana-mana."

Rayhan menatap sekeliling "Mau tidur di mana?"

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Where stories live. Discover now