🌸03🌸

7.2K 730 29
                                    

Acara pernikahan usai tepat ketika waktu nyaris tengah malam. Tersisa hanya Martha, Yugo, dan juga keluarga besar yang sengaja berkumpul untuk memberi sedikit wejangan dan selamat atas resmi nya ikatan mereka.

Di antara gelak tawa Yugo dan juga keluarga besar Martha dan keluarga besar lelaki itu sendiri, Martha justru merasa asing di tengah riuh kehangatan keluarga yang kini terikat. Di dada nya, tidak ada euforia bahagia layaknya pengantin baru meski suaminya sendiri adalah seorang taipan kaya raya yang bahkan lebih dari mampu membeli pulau pribadi.

Namun bagi Martha, apalah arti harta jika dirinya justru harus dipaksa hidup berdampingan dengan si penoreh luka. Ia memilih duduk diam, menatap datar seluruh keluarga yang tak henti menggoda Yugo akan kenikmatan malam pertama.

Malam pertama your ass! Melihat Yugo saja rasanya Martha geram luar biasa, apalagi jika harus menyerahkan tubuhnya untuk di jamah oleh si brengsek yang sudah berstatus sebagai suaminya. Lebih baik ia sekalian menjadi biarawati ketimbang harus memberikan kehormatan itu untuk lelaki yang tak pantas macam Yugo.

Lamunan Martha buyar kala merasakan bahu nya di usap lembut oleh seseorang. Dan ternyata orang itu adalah Mama dan Papa nya. Ia mendengus, malas rasanya harus berinteraksi dengan keduanya.

"Kenapa malah duduk sendiri, sayang?" Tanya Papa pelan.

"Nggak nyaman gabung sama mereka." Tukas Martha ketus. Papa menyunggingkan senyum sendu karena perubahan sikap putrinya. Martha dulu adalah anak yang sangat manis dan juga lembut, berbanding terbalik dengan sekarang yang dingin dan seolah tak ingin ada seorang pun yang mengganggu dunia nya.

"Biar gimanapun, Yugo dan keluarganya sudah jadi suami sekaligus keluarga barumu, nak." Timpal Mama berusaha menjalin kembali komunikasi dengan sang putri yang makin hari malah makin mendingin.

"Status yang dipaksakan sama Mama, bahkan sampe rela ngemis-ngemis, seolah aku perawan tua yang nggak laku, itu maksud Mama?"

Papa dan Mama terkesiap, sama sekali belum terbiasa dengan sikap Martha yang kurang ajar pada orang tua nya sendiri.

"Martha, apa ini yang seharusnya dilakukan sama seorang anak?" Tegur Papa tegas.

"Dan apa ini yang seharusnya dilakukan sama orangtua? Memaksakan kehendak dengan berlindung di balik alibi hanya ingin yang terbaik untuk anak. Memang nya Papa dan Mama tau apa sih tentang yang terbaik? Memang nya Papa dan Mama tau apa yang hatiku ingin? Nggak kan? Semua itu cuma dari persepsi Papa dan Mama sendiri."

Keduanya lagi-lagi hanya bisa bungkam. Mereka mengakui kalau mereka sangat amat takut Martha tetap menjadi seorang perawan di usianya yang sudah berkepala tiga. Maka dengan itulah Mama berani mengambil langkah untuk memohon pada Yugo agar mempersunting putri nya, meski pada akhirnya menggadaikan kebahagiaan sang putri.

"Mama hanya takut." Bisiknya tercekat. Martha sendiri terkekeh pelan dengan menggelengkan kepala, speechless dengan pikiran kolot Mama nya.

"Kalo gitu selamat, Ma. Keinginan Mama akhirnya terwujud. Makasih ya Ma, karena sekarang aku tau, kebahagiaanku sendiri nggak lebih berarti dibanding rasa takut nggak beralasan Mama itu. Selamat, karena Mama berhasil menjual putri Mama sendiri sama laki-laki yang pernah mencoreng martabat putri Mama yang perawan tua ini."

Martha bangkit, ia menarik gaun nya sendiri, berupaya meninggalkan hall tempat diadakannya pernikahan meski diiringi tatapan sedih Papa Mama dan tatapan heran keluarga Yugo. Sekali lagi, Martha tidak peduli. Ia hanya perlu peduli pada dirinya sendiri, terlebih kini keluarganya bahkan sama sekali tidak peduli dengan kebahagiaan dan harga dirinya sebagai seorang perempuan. Detik di mana Martha dipaksa menikah dengan Yugo yang sudah siap dengan segala tetek bengek pernikahan, di saat itulah Martha telah menganggap mati seluruh keluarganya. Ada, namun tidak memiliki hati dan nurani, lantas apa bedanya dengan orang mati? Jawabannya tentu tidak ada bedanya.

KALA ENGKAU MENYAPA

Yugo membuka kamar yang sudah sekaligus ia sewa setelah resepsi pernikahannya, mengantisipasi kelelahan ekstrim usai menerima ribuan tamu undangan kolega keluarganya sekaligus kolega pekerjaannya. Suasana ruangan yang redup tak menghalangi matanya menatap seseorang yang sudah terlelap di balik selimut yang tersingkap, menampakkan piyama panjang yang dikenakan istrinya malam ini.

Yugo tentu tidak buta akan kebencian serta keengganan Martha untuk menikah dengannya. Bicara ketus, mata yang memancarkan rasa benci, serta jarak yang selalu istrinya buat memang patut ia terima, terlebih ada kisah dari masa lalu yang sampai sekarang belum terselesaikan.

Dengan perlahan, Yugo mendekati sisi ranjang, menatap bingkaian wajah Martha yang sudah lepas dari make up dan semacamnya. Kontur wajah itu sama sekali tidak berubah sejak terakhir mereka bersama. Hanya saja, ada sedikit kerutan di sudut mata kiri Martha yang sesungguhnya tidak mempengaruhi Martha secara signifikan. Yugo tentu juga memiliki kesamaan dengan Martha, apalagi usianya yang enam tahun lebih tua dari Martha. Kerutan dan usia adalah dua hal yang akan selalu beriringan, meski manusia sering menolak akan kenyataan tersebut.

Ia mengusap surai Martha yang masih sedikit lembab, sepertinya sang istri tidak benar-benar tuntas ketika mengeringkan rambut usai keramas tadi. Namun Yugo memilih tak ambil pusing perkara sepele tersebut. Otaknya terus bekerja, memikirkan bagaimana caranya menaklukan Martha agar setidaknya pernikahan mereka bisa berjalan normal layaknya pasangan pengantin pada umumnya.

Mendesah lelah, Yugo lantas melucuti diri dari segala atribut pernikahannya, mandi untuk menghilangkan tumpukan keringat setelah lelah seharian menjadi raja. Ia hanya membalut tubuh dengan bathrobe, terlalu lelah untuk memilah baju malam ini.

Membaringkan diri, Yugo lantas menarik tubuh Martha untuk masuk ke dalam dekapannya, berharap istrinya itu tidaklah memberontak di sela rasa lelahnya malam ini.

"Lepas." Namun harapan Yugo agaknya tak semudah itu terjadi. Baru saja lengannya tergeletak di atas pinggang Martha, gadis itu sudah langsung defensif dengan suara dingin dan ketusnya.

"Please, Mar. Untuk malam ini aja, jangan egois. Kita sama-sama capek. Aku cuma mau tidur, dan kamu udah jadi istriku, aku berhak melakukan apapun ke kamu." Tutur Yugo lelah.

Martha membalikkan tubuh, menatap wajah Yugo dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku nggak egois, kamu yang kurang ajar sentuh-sentuh aku."

"Kamu istriku, kalo kamu lupa! Atas dasar apa kamu bilang aku kurang ajar karena sentuh kamu?" Kali ini Yugo geram, ia benar-benar tak mengerti dengan keegoisan Martha malam ini.

Kegeraman Yugo berubah saat melihat mata Martha yang memerah, mati-matian menahan tangisnya. "Karena aku nggak sanggup disentuh kamu." Bisiknya tercekat. "Mama memang merendahkan dirinya, juga diriku karena meminta sama kamu buat nikahin aku, tapi sampai kapanpun, aku nggak akan sanggup kalo harus tersentuh kamu. Pernikahan ini hanya karena rasa kasihanmu dan juga kebodohan Mamaku meminta kamu. Jadi aku mohon, jangan bersikap seolah semuanya normal. Karena kamu dan aku punya masa lalu buruk, dan sayang nya, sampai sekarang aku belum bisa melupakan itu."

BERSAMBUNG

Aku baru selesai ujian tadi, dan sebenernya kepalaku masih berasep sih, pusing mikirin jawaban ujian😂 tapi semoga chapter ini dapet feelnya dan ga aneh ya.

19 November 2021

Kala Engkau MenyapaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt