🌸01🌸

15.3K 816 35
                                    

Jika di luar sana pengantin yang berubah menjadi ratu seharian akan selalu berbahagia dan menebar senyum serta kebahagiaan pada para tamu undangan yang ada, hal itu berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Martha yang saat ini justru beraut datar yang sedari tadi tidak henti meremas gaun putih pengantinnya demi menyalurkan rasa marah karena keputusan sepihak dari keluarganya dan juga keluarga suaminya.

Pemberkatan memang sudah selesai dari tiga puluh menit lalu, dan Martha memilih menenangkan diri karena tak yakin mampu menahan diri melihat bagaimana bahagianya sang Mama dan Papa yang seolah tak peduli dengan perasaannya. Tim MUA yang sejak tadi hendak memperbaiki riasannya pun ia usir dari ruangan ini karena menginginkan ketenangan untuk menangani emosinya yang menggelegak.

Hari ini seharusnya jadi hari paling bahagia untuknya, namun sayang nya tidak. Siapa yang bisa bahagia jika ia harus merubah statusnya menjadi istri dari seorang lelaki bajingan bernama Yugo Ambaraskito?

Sebetulnya tidak ada yang salah dari Yugo. Lelaki itu adalah lelaki dengan spek dewa. Bertampang, berduit, dan juga berbibit bobot. Namun sayang nya, semua spek dewa itu seolah luntur di mata Martha karena tingkah brengsek lelaki itu di masa lalu. Siapa wanita yang tidak terluka jika tunangan yang sudah melamar dan menjanjikan pernikahan tiba-tiba hilang tanpa kabar dan kembali lagi padanya tanpa dinyana dan tanpa diduga? Terlebih lagi Yugo kembali seolah tanpa rasa bersalah dan sesal sama sekali.

Suara ketukan pintu sama sekali tidak membuat Martha bergeming. Ia tetap duduk dengan pandangan kosong dan pikiran yang berkecamuk.

"Astaga, kenapa masih pake gaun ini? Ayo sayang, kamu harus segera ganti gaun buat resepsi." Martha tidak menerima uluran tangan Mama ketika mengajaknya segera berganti gaun untuk lanjutan acara resepsi yang akan dihelat dua jam lagi. Dan Mama yang semula begitu heboh, kini mulai menyadari sikap putrinya yang tampak dingin dan datar di hari pernikahannya sendiri.

"Martha, kamu masih marah sama Mama?" Tanya nya pelan. Martha menatap Mama dengan tatapan lekat.

"Menurut Mama gimana?"

"Kamu masih marah." Lirihnya sendu.

Bibir Martha mengeluarkan seringai miris ketika sang Mama sadar kalau dirinya masih marah dan kecewa, namun tetap tidak melakukan apapun untuk mengembalikan kebahagiaannya. "Aku takjub Mama masih bisa punya perasaan buat nilai gimana perasaanku sekarang. Aku kira Mama udah mati empati buat aku, anakmu sendiri." Sindirnya tajam.

Mama tampak menahan air mata mendengar sindiran keras dari sang putri. Sungguh, sebagai seorang Ibu, ia hanya ingin yang terbaik bagi sang putri, meski kini ia baru sadar kalau yang terbaik menurutnya, belum tentu yang terbaik untuk sang putri.

"Mama hanya mau yang terbaik buat kamu, nak. Mama nggak mau kamu..."

"Dan laki-laki yang pernah meninggalkan anak Mama sampai dia nyaris gila rupanya adalah yang terbaik versi Mama. Iya kan?" Kekeh Martha menyedihkan. Entahlah, kini ia skeptis dan muak dengan keluarganya sendiri, yang tidak memikirkan perasaannya karena harus kembali di sandingkan dengan lelaki yang pernah menjadi koreng di masa lalu nya.

Mama tak mampu menukas. Ia hanya bisa menitikkan air mata dan berupaya meraih tangan Martha, namun kalah cepat dengan tepis penolakan dari putrinya sendiri.

"Mama boleh keluar. Tenang, aku nggak akan kabur dan memalukan keluarga kalo itu yang Mama takutkan. Seperti yang Mama tau, aku harus segera ganti kostum untuk jadi badut seharian." Usir nya dengan senyum hampa yang terulas di bibir nude nya.

"Sayang, Mama minta maaf. Mama nggak berpikir kalo semua ini bakal menyakiti kamu. Mama kira kamu masih mencintai Yugo, karena itulah Mama meminta keluarga kita dan keluarga Yugo untuk bersatu dalam sebuah ikatan melalui pernikahan kalian."

Tangan Martha mengibas dengan wajah jengah. "Berhenti pidatonya. Aku pusing. Mending Mama keluar dari sini."

Mama tak mampu berbuat apapun. Martha tampak sangat kecewa dan tidak ingin lama-lama bersamanya. Akhirnya ia lebih memilih bungkam dan berlalu gontai dari ruangan sang putri.

Martha sendiri menghela napas berat usai sosok Mama menghilang di balik pintu. Ia memijat pelipisnya karena perdebatan baru saja rupanya sanggup menyedot seluruh tenaga nya yang tersisa.

Namun sialnya, baru sejenak ia kembali menenangkan diri, si biang kerok di hidupnya ini justru muncul tanpa merasa perlu mengetuk pintu demi kesopanan. Yugo melenggang masuk tanpa rasa sungkan dan menatap Martha dengan mata nya yang selalu terlihat bak tersenyum itu.

"Ngobrol apa barusan sama Mama?"

"Bukan urusanmu."

"Tentu itu jadi urusanku, Martha. Kamu istriku sekarang, dan otomatis, apapun yang terjadi, akan jadi urusanku juga. Terlebih sekarang Mama sudah resmi jadi Mamaku juga."

"Ya, whatever. Toh apapun ucapanku itu memang nggak pernah dianggap penting juga, kan?" Kekeh Martha pura-pura.

Yugo menghela napas dan mendekati Martha untuk menekan kedua bahu istrinya, memberi tahu kalau dirinya tidak suka dengan sikap Martha yang keterlaluan sekarang.

"Mama keluar dari ruangan ini dengan mata merah karena nangis. Menurutmu, apa kamu masih pantas bilang kalo ini semua bukan urusanku?" Yugo menekankan tiap kata-katanya agar Martha bisa menaruh atensi akan apa yang terjadi dengan Mama selepas keluar dari ruangan ini.

Martha melengos, enggan mengambil pusing akan kondisi Mama. Ia masih kecewa karena toh nyatanya Mama juga tidak memikirkan bagaimana perasaannya ketika memaksakan pernikahan ini.

"Ini hari pernikahan kita, Mar. Apa pantas kita bikin orangtua kita bersedih alih-alih bahagia?" Ujar Yugo lembut, enggan semakin memancing amarah Martha yang kali ini sedang sensitif.

Mendengar wejangan tersebut, Martha dengan cepat menatap Yugo dengan wajah menahan marahnya. Ia menghempas tangan Yugo yang bertengger di pundaknya dan menatap tajam suami yang sama sekali tak diinginkannya ini.

"For your information, Mr. Yugo yang terhormat, ini adalah hari pernikahanmu, dan bukan pernikahanku! Jadi berhenti melibatkan aku buat urusan nggak penting dan segera selesaikan ini karena aku sudah capek dan muak untuk terus berusaha tersenyum di sampingmu. Menjijikkan!" Bentak Martha berapi-api meluapkan uneg-uneg yang bersarang di dadanya.

Yugo menatap Martha dengan tatapan yang sulit di artikan. Ia terdiam sejenak, menarik napas dan mengusap pelan kepala Martha. "Aku anggap omonganmu barusan hanya racauan nggak penting yang tanpa sengaja keluar dari bibirmu. Mulai detik ini, siap nggak siap, suka nggak suka, kamu sudah jadi istriku, Mar. Dan aku ingatkan kamu untuk bersikap layaknya istri sungguhan di hari bahagia kita. Kalo kamu nggak bisa lakukan itu untuk aku atau untuk kamu sendiri, setidaknya pikirkan untuk orangtuamu dan juga orangtuaku. Kalau terdapat kejanggalan di pernikahan ini, tentunya mereka yang akan menanggung malu, bukan aku, ataupun kamu." Yugo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menatap Martha dengan wajah tersenyum. "Jangan lupa ganti gaunnya, istriku. Sebentar lagi kita sambut tamu undangan kita di hari istimewa kita."

BERSAMBUNG

14.11.21

Kala Engkau MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang