Saya melirik Wastra sejenak, ingin menanggapi. Tapi rasa-rasanya, nggak ada gunanya juga memberikan tanggapan. Saya tidak melakukan apa-apa selain membereskan barang-barang, lalu menarik tas dari pinggir kursi. Setelahnya, saya melangkah pergi. Studio ini benar-benar terasa asing. Sama seperti diri saya sendiri. Saya merasa terasingkan dari banyak hal.

***

Mengapa luka selalu disalahkan

Mengapa luka seolah bumerang

Luka padahal bisa menghangatkan

Luka mendatangkan sadar yang dalam

Saya membaca potongan tulisan di dalam kertas itu sekali lagi. Disusul gelengan pelan. Liriknya masih sangat mentah. Entah kenapa, saya semakin tidak percaya diri. Di saat anak-anak mempercayakan sebuah lirik lagu itu ke saya, saya sendiri malah semakin sadar tentang satu hal. Saya orang paling nggak bisa diandalkan untuk membuat kata-kata.

Kutari kertas itu dari tebalnya buku sehingga menghasilkan suara. Saya membulatkan kertas tersebut dan melemparkannya ke tong sampah. Itu adalah bulatan ke lima untuk malam ini. Tentu saja, mungkin masih akan ada bulatan-bulatan lain di hari-hari selanjutnya.

Di saat saya akan melanjut memikirkan lirik-lirik lain, saya terinterupsi oleh ponsel yang berdering. Saya berharap itu Meta tentu saja. Tapi bukan. Nomor Pandu yang malah berderet di layar ponsel.

Cepat, saya mengangkatnya. "Kenapa, Du?"

"Urang geus ngobrol sama Sandrina," jawabnya.

"Oke. Terus?"

"Bisa dipastikan kalau bukan Sandrina yang ngasih alamat Meta ke Pak Madi. Bukan Sandrina juga yang ngasih nomor kamu ke Pak Madi."

Penjelasan itu membuat saya mengembuskan napas. Pandu, Pandu, saya semakin mengerti bahwa orang yang sedang jatuh cinta bisa sekali banyak berubah. Ya, termasuk saya. Mungkin saya akan melakukan hal yang sama seperti Pandu jika ada masalah yang berhubungan dengan pacar atau orang yang spesial.

"Nggak apa-apalah, Du. Udah nggak penting juga. Lagian ...."

"Ini penting, Gay!" potong Pandu. "Sama seperti pembelaan-pembelaanmu ke Meta, pembelaanku ke Sandrina juga penting!"

Saya berdiri dari tempat duduk. "Terus mau kamu apa, Du?"

"Urang udah ngobrol sama Sandrina. Selengkap-lengkapnya." Terdengar deru napas Pandu. "Sandrina cukup syok karena Meta marah besar ke dia. Bahkan Meta memblokir akses komunikasi. Hal itu bikin Sandrina galau juga. Seharusnya, maneh jangan egois, Gay. Kudu bisa lihat dari berbagai sudut pandang."

Ucapan Pandu membuat saya teringat kejadian semalam. Pantas Sandrina tidak mengangkat telepon. Sepertinya kejadian kemarin sama-sama membuat semuanya kalang kabut.

"Thanks informasinya, Du," ucapku pada akhirnya. "Sorry kalau saya terlalu menggebu-gebu. Sorry juga buat tadi siang. Saya tiba-tiba-tiba pergi dari studio."

"Saya dan anak-anak udah maafin," ucap Pandu. "Tap saya nggak tahu, sampai kapan kami bisa bertahan." Terdengar tarikkan napas berat. "Itu aja sih yang mau diceritain."

Telepon ditutup bahkan sebelum saya menanggapi ucapan Pandu. Saya hanya menelan ludah. Buah keputusan saya ternyata bisa berefek jauh terhadap hal-hal yang sudah dibangun dari dulu.

Saya melihat kembali ke HP yang masih menyala. Rasa-rasanya, saya harus menghubungi Meta lagi. Saya tidak puas dengan kejadian tadi pagi. Saya nekat datang dan mengetuk-ngetuk pintu kamar Meta, tapi hasilnya nihil. Mungkin malam ini ada keajaiban?

Pelan, saya menekan tombol panggil di nomor Meta. Dada saya langsung bergemuruh saat panggilan itu tersambung! Ya ampun, Meta memang belum mengangkatnya, tapi beban yang ada di dalam diri seperti menguap begitu saja. Beginikah rasanya bahagia yang datang dari hal sederhana?

"Hallo, Gay ...."

"Kelakuan kamu bikin saya jadi kayak cimol yang didiamin sehari. Keras. Beku. Nggak enak."

"Aku baik-baik aja. Sorry kalau bikin kamu khawatir. Aku benar-benar syok. Ini baru aktifin HP lagi." Terdengar kekehan pelan. "Tapi, cimolnya bisa diangetin nggak?"

"Haha. Lucu." Saya mengusap dada, ketenangan itu menjalar lagi. "Syukurlah kalau kamu baik-baik aja. Tapi, saya masih penasaran soal Bapak kamu. Dia ...."

"Dia datang, maksa pulang, terus aku tolak." Terdengar embusan napas keras. "Sesimpel itu."

"Nggak simpel. Soalnya dia juga ...."

"Dia kenapa?"

Saya menepuk jidat. Soal Pak Madi yang menelepon, sepertinya nggak usah dibocorin dulu. Saya harus membiarkan Meta tenang. "Eng-enggak. Lupain."

"Haha. Aneh!"

"Eh, kamu udah makan? Kalau saya pesenin makanan, mau? Saya takut banget kamu kenapa-napa. Ngegalau itu capek tau. Saya nggak yakin kamu inget makan. Saya aja dicuekkin dari tadi pagi." Saya sedikit mencebik saat mengingat kejadian pagi itu. "Atau, kamu butuh teman buat jalan malam ini? Saya nggak ada kerjaan juga. Barangkali, jalan-jalan bisa bikin kamu bisa lebih tenang."

Cukup lama Meta diam. "Tapi aku nggak bakalan ketemu mantan kamu lagi, kan?"

"Ya ampun. Kamu masih kesal soal mantan aku?"

"Ya kesel." Suara Meta terdengar sedikit merajuk. "Double-double deh jadinya."

"Yang bikin kesel sebenernya apa sih?"

"Kamu masih nanya?" Nada bicara Meta berubah jadi jutek.

Pipi saya mendadak panas. Baru kali ini saya serasa digombalin. Saya buru-buru angkat suara untuk menghilangkan rasa gugup, "Malam ini, pokoknya nggak bakalan ada yang bikin kamu kesel." Saya tersenyum penuh percaya diri. "Percayakan semuanya kepada Bapak Gaya yang terhormat."

"Bener ya?"

"Ya!" Saya mengacungkan tangan ke atas. "Saya tunggu di depan gerbang ya."

"Okey!"

Telepon ditutup begitu cepat. Badan yang berat, pikiran yang kalut, semuanya seolah terpecah-pecah dan lenyap. Meta selalu jadi obat. Meta mirip seperti cahaya yang menyinari labirin. Rumitnya perasaanku bisa dengan mudah dia tangani.

***

Cie, mulai lagi nih Meta sama Gaya. wkwkwk.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang