Haduh! Orang-orang pada kenapa? Sepertinya sekarang lagi musim masalah.

Saat latihan tadi, saya banyak dikacangin. Anak-anak jadi nggak seasyik dulu. Mereka datar, bahkan terkesan tak acuh. Eh, sekarang ada masalah baru. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana pertengkaran itu terjadi. Meta pasti sangat sedih saat dijemput paksa Bapaknya.

Sok tahu lu. Bisa jadi Bapaknya datang buat nengok doang!

Saya bukan orang yang se-positive thinking itu. Meta sudah sering bicara jika Bapaknya kerap menyuruh pulang. Nggak mungkin Bapak Meta datang hanya untuk menengok. Pasti ada pertengkaran besar juga. Seperti kata Mama tadi.

Saya yang masih sangat khawatir seperti mendapatkan angin sejuk. HP saya berdering! Tapi .... oh, itu bukan nomor Meta. Tersusun nomor baru yang entah siapa. Barangkali penting, saya memilih mengusap ikon hijau untuk mengangkat telepon.

"Ini siapa?"

Saya berharap jika itu Meta. Asumsi berkata jika Meta ganti nomor gara-gara kejadian buruk dengan Bapaknya. Tapi tampaknya, asumsi itu terpatahkan saat suara berat seseorang masuk ke telinga.

"Saya Madi."

"Ma-madi?"

"Bapaknya Meta."

Jawaban itu kontan membuat dengkul saya bergetar. Baru pertama kali saya dihubungi oleh seseorang yang ternyata adalah Bapak Meta. Masalahnya, nada bicara Pak Madi tidak menandakan semuanya baik-baik saja. Saya jadi makin takut dengan kenyataan itu.

"Oh ...." Saya bersuara setelah terhenti beberapa detik. "Apa kabar, Pak?"

"Saya tidak kenal Anda. Jadi jangan berbasa-basi," jawabnya. "Saya cuma mau Meta pulang."

Saya rasa, dia tipe lelaki tegas sekaligus keras kepala. Tidak mungkin saya membuat lelucon lewat sambungan telepon ini. Tidak mungkin juga saya merayunya untuk mendapatkan simpati.

"Kenapa Bapak menelepon saya perihal Meta?" Saya berjalan bolak-balik di depan tempat tidur. "Maksud saya, bukannya Bapak bisa melakukannya sendiri? Saya orang baru di kehidupan Meta. Saya tidak mungkin bisa melakukan itu."

Tawa keras Pak Madi menggema. Saya tahu tawa itu dibuat-buat. Malah lebih mirip tawa miris. "Meta bisa kamu ajak ke mana-mana. Saya juga lihat foto-foto kalian di media sosial. Berarti, bukan hal sulit untuk membuatnya kembali pulang, kan?"

Giliran saya yang tergelak. "Bapak saja tidak mampu membuat Meta pulang, apalagi saya?" Sekarang, saya duduk dengan badan tegap. "Atau, Bapak merasa asing dengan anak sendiri? Bapak jauh lebih percaya kepada orang baru seperti saya ketimbang diri Bapak sendiri?"

Ucapan itu membuat suasana lengang sejenak. Sesekali, saya mendengar suara batuk yang sepertinya dijauhkan dari ponsel.

"Kalau begitu, jauhi anak saya!"

Ucapan itu membuat saya beku.

"Saya tidak bisa membiarkan anak saya bersama laki-laki baru yang bahkan tidak saya kenal." Pak Madi seperti sedang menata kalimat. "Saya bisa menyimpulkan dari cara kamu menanggapi saya. Kamu bukan orang yang tepat untuk Meta."

Entah kenapa, ucapan itu tiba-tiba meluruhkan rasa percaya diri saya. Saya memutar ulang kembali berbagai hal. Tentang Meta, seorang influencer yang dikenal banyak orang. Tentang saya, seorang penyanyi, yang kehidupannya terkesan datar-datar saja. Bahkan belakangan, saya akan kembali menjadi orang yang memulai semuanya dari nol. Menyodorkan lamaran-lamaran kerja ke berbagai perusahaan.

"Jelas?" tanya Pak Madi.

"I-iya, Pak."

"Terima kasih."

Telepon ditutup begitu saja sebelum saya menjawab 'sama-sama'. Saya yang sudah duduk di atas ranjang menatap kembali layar ponsel. Merasa belum percaya bahwa untuk pertama kalinya, saya mengobrol dengan bapak Meta. Dari cara dia bicara, saya bisa menyimpulkan tentang keresahan Meta selama ini.

Tapi saya masih heran. Dari mana Pak Madi mendapatkan nomor telepon saya? Nggak mungkin Meta yang ngasih. Dia bukan tipe orang yang bisa sembarangan memberikan nomor orang lain. Atau saat di kosan, Pak Madi melihat paksa isi nomor di HP Meta? Tidak menutup kemungkinan.

Itu nggak penting, Bro! Yang penting itu kalian ke depannya. Mau gimana?

Benar juga. Pak Madi sudah turun tangan. Dengan terang-terangan, dia nggak suka saya dekat dengan Meta. Apa saya masih pantas bersama Meta? Atau setidaknya, saya bisa meyakinkan Pak Madi?

Perasaan ragu mendadak menebal di dalam hati. Saya merasa seperti setitik debu di antara benda-benda besar yang kuat dan kokoh.

***

Ketua maung udah turun tangan. Gimana nih? wkwkwk

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now