"Gaya, please. Maneh itu jantungnya Riung Mungpulung. Kalau nggak ada, gimana jadinya band ini?" Abar mengusap tanganku, terlihat gusar.

"Lagian, baru ngelamar kan?" Wastra menyorot tajam. "Belum tentu diterima."

"Maneh bener Tra." Saya mengangguk. "Tapi kalau pun nggak diterima, saya sudah pasti akan dipaksa lagi cara jalan lain. Saya ...."

"Nggak asik ah maneh mah." Abar mengacungkan jari telunjuk. "Egois. Hanya mentingin diri sendiri."

Berbeda dengan Abar, Wastra memilih diam.

"Saya cuman ingin bikin Mama bahagia. Itu saja. Sama seperti kalian. Kalian juga ingin bikin orangtua kalian bahagia kan?"

"Indung maneh bakal bahagia kalau lihat band kita sukses. Makannya buktikan!" Abar masih berusaha merayu.

Saya menggeleng. "Enggak, Bar. Dari awal saya nyanyi, Mama itu pengin saya kerja serius. Ya, menurutnya, kerja di kantor, di perusahaan tertentu, pokoknya yang punya jam kerja, itu serius. Dia bahagia kalau saya kerja seperti orang pada umumnya."

Wastra menggaruk kepala. Sementara, Abar berdiri, dia kembali ke depan drum, kemudian memainkan alat itu sesukanya. Saya rasa, dia sedang berusaha meluapkan emosi dengan menghajar bulatan-bulatan alat musik satu itu.

"Sorry ya, Lur." Saya menatap mereka meski Wastra dan Abar membuang wajah. "Saya benar-benar nggak bisa lagi kayak dulu."

Masih tidak ada tanggapan.

"Hari ini nggak ada latihan serius kan?" Saya menarik jaket yang sempat dilepas, lantas mengenakannya. "Saya pulang kalau gitu."

Ucapan itu ditanggapi dengan anggukkan. Sama seperti mereka, saya juga sakit. Tapi, menyampaikan lebih baik dari pada diam saja, kan? Akan lebih sakit kalau mereka mengetahui semuanya setelah saya berjalan terlalu jauh. Saya tidak berkhianat, tetapi saya serasa menjilat ludah sendiri. Saya yang awalnya begitu optimis dengan band, mendadak ciut. Semuanya luruh. Dan itu hancur oleh keputusan saya.

***

META.

KABAR BAHAGIA

Seminggu lalu, Sandrina datang ke Bandung bersama Pandu. Tentu, kedatangan mereka sudah dalam keadaan berpacaran. Gercep sekali. Baru pendekatan beberapa minggu, langsung jadi. Berbeda dengan hubunganku. Sudah lebih dari sebulan sejak aku tinggal di Bandung, semuanya masih abu-abu. Belum ada perkembangan.

Kehadiran Sandrina jelas membuat kos-kosanku ramai. Dia bertanya banyak hal tentang kisah asmaraku yang amat rumit. Aku menceritakan semuanya. Dia bercerita pula mengenai Bapak yang terus meneror untuk meminta alamat. Ya, meskipun Sandrina nggak ngasih. Selain hal itu, topik lain yang nggak kalah menghebohkan yaitu perihal kontrak dengan salah satu perusahaan.

Sejak draf kontrak yang pada saat itu dibaca dalam bentuk file, kontrak aslinya sudah ada di tanganku saat ini. Ditimang-timang. Diusap-usap. Seolah kontrak itu adalah bayi. Kontrak itu telah ditandatangani. Copy-annya pun sudah dikirim ulang kepada perusahaan yang sekarang resmi menjadi bosku. Ya. Smarthealth Foundation, perusahaan yang berjalan di bidang edukasi kecerdasan, mental, serta pengembangan diri itu resmi bekerja sama denganku sebagai brand Ambassador.

"Inget. Telepon Bapakmu! Bilang kalau kamu punya kerjaan baru. Barangkali, ini semua sebenarnya hasil dari doa-doa Bapakmu!" ucap Sandrina.

Aku masih ingat perkataan Sandrina sebelum dia pulang lagi ke Garut. Waktu itu, aku hanya haha-hihi. Sekarang, aku malah kepikiran. Tumben sekali ucapan Sandrina menempel begitu kuat. Biasanya, akan ada banyak kalimat yang masuk keluar telinga dalam waktu sekejap.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil ponsel yang sebenarnya sudah diotak-atik sejak tadi. Aku mencari nomor Bapak, dan ..... melihatnya sejenak. Keraguan akan kemarahan Bapak yang meledak-ledak membuatku takut. Tapi ah, sudahlah. Aku nggak peduli lagi dengan semua yang mungkin aku takutkan.

Nada dering tersambung begitu kuat. Belum mendengar suaranya saja, dadaku sudah sesak. Apalagi kalau sudah diangkat?

"Hallo ...."

Suara itu membuat darahku berdesir.

"Pak. Ini Meta," ucapku.

"Sudah tahu!"

Aku menekan dada. Tetap saja Bapak jutek.

"Bapak apa kabar?" Untuk menghindari gugup, aku mondar-mandir di depan ranjang. "Bapak baik-baik kan? Udah makan?"

Hening sejenak. "Kapan pulang?"

Pertanyaan itu membuatku beku.

"Iraha balik?" tegasnya.

Jika bahasa Sundanya sudah keluar, tandanya kemarahan Bapak sudah di atas ubun-ubun.

"Dengerin Meta dulu, Pak." Aku menekan dada. "Meta menelepon Bapak karena ingin ngasih tahu sesuatu."

"Soal apa?"

"Soal kerjaan." Aku mengulas senyum. "Meta berhasil jadi Brand Ambassador salah satu perusahaan Pak. Bayarannya ratusan juta. Dalam waktu dekat, akan ada launching salah satu program juga di Jakarta. Meta akan pergi ke sana dan menghadiri acaranya sekaligus menjadi pembicara. Bagi Meta, ini salah satu pencapaian besar. Dan Bapak .... Bapak berperan penting dalam hidup Meta."

Ucapan itu, selain membuat jantungku memompa lebih cepat, juga membuat bulu kudukku meremang. Meski takut, aku tulus mengucapkan hal itu. Nggak hanya itu, air mataku tiba-tiba berkumpul di ujung-ujung Mata, tinggal nunggu mengalir.

"Itu aja?" sambung Bapak.

"Ya ....."

"Bapak nggak butuh informasi itu!" tegasnya. "Bapak hanya mau kamu pulang. Mau sampai kapan kabur-kaburan, Met? Mau sampai kapan? Mau sampai Bapak mati di sini?"

Kata 'mati' membuat bibirku bergetar. Wajah Mama berkelebatan. Disusul wajah keras Bapak. "Kenapa bicara gitu sih, Pak. Kenapa Bapak ...."

"Pulang!"

Aku mengatur napas supaya tangisan itu tidak benar-benar mengeras. Sesekali, aku menyeka mata sebelum benar-benar kembali bicara. "Bapak baik-baik di rumah ya. Jangan lupa makan. Meta pasti pulang. Tapi ...."

"Tapi apa?"

"Tapi nggak sekarang-sekarang. Semuanya begitu rumit untuk diuraikan. Meta masih butuh waktu sendiri. Lagi pula, Bapak masih .... yah, masih belum sadar. Seharusnya, Bapak sadar kenapa Meta menjauh dari Bapak. Tapi mendengar permintaan Bapak barusan, yang maksa, yang ... kasar, Meta jadi semakin ragu untuk pulang."

Samar, aku mendengar deru napas yang tak beraturan. Disusul batuk yang cukup memekakan telinga.

"Bapak sakit?" tanyaku.

"Tidak!" jawabnya.

"Meta serius!"

"Buat apa tahu kondisi Bapak?" Pertanyaan itu bercampur getar. "Kamu sendiri tidak pernah peduli. Seharusnya, sakit atau sehat, kamu ada di sini."

Klik!

Telepon ditutup dari sana. Sementara, aku mematung, memandangi layar ponsel yang sedikit mengedip. Apa aku memang sejahat itu?

Air mata yang tadinya ditahan, sekarang benar-benar menyembur. Aku terduduk di lantai sambil memegang ponsel dan kertas kontrak. Ucapan terakhir Bapak kembali terbayang. Mirip seperti irisan silet yang secara perlahan membuat badanku berdarah.

***

Tegang ya di part ini .....

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Kde žijí příběhy. Začni objevovat