"Emang gimana?"

"Kamu dikontrak untuk setengah tahun. Harga yang ditawarkan ratusan juta. Terus, nanti kamu akan di-blow up di setiap acara launching. Sisanya, kamu bakal sering diundang juga sebagai pembicara."

Penjelasan itu membuat aku menutup mulut sejenak. "Serius?"

"Mau diterima?"

"Ya terima dong! Gila aja kalau aku ngelewatin kesempatan ini." Aku mengusap dada. "Ya ampun, kapan lagi punya uang ratusan juta dari satu job. Emang, nominalnya berapa sih? Jangan main rahasia-rahasiaan deh!"

"Itu dia." Sandrina terkekeh. "Kamu lihat aja sendiri kontraknya. Yang jelas, uangnya nggak mengecewakan kok. Besok, aku langsung ke Bandung ya. Diantar Pandu. Hari ini, dia ke sini soalnya. Nemuin aku."

"Ya udah, buruan ke sini!" tegasku. "Ngomong-ngomong, kalian udah jadian?"

"Belum. Kan baru sore ini dia sampai ke Garut." Sandrina meneleng pelan. "Penasaran ni ye?"

"Penasaran dong!"

"Terus progres hubungan kalian gimana?" tanya Sandrina. Sekarang, aku melihat kalau dia membuka jendela kamar. Ya ampun, orang ini benar-benar tidak bisa diam. "Udah jadian?"

"Kalian itu siapa aja?" Alisku terangkat.

"Ya kamu sama Praha, lah." Sandrina melotot. "Eh, atau jangan-jangan, kamu benar-benar dilema dengan dua cowok itu? Praha atau .... Gaya?"

Pertanyaan itu membuat badanku menegang. "Ah, udah ah. Jangan bahas itu dulu. Nanti aku ceritain kalau sudah sampai Bandung. Sekarang, mending kamu nyalon kek. Atau apa gitu. Biar Pandu nggak berubah pikiran liat rambut kayak kuntilanak begitu!"

"Sialan!"

"Ya udah, bye, Drin. Makasih ya."

Aku mengakhiri video call. Soal kontrak dengan salah satu perusahaan, itu aman. Aku suka dan kemungkinan besar bakal aku terima. Kesempatan, bo! Dibalik bisa bermanfaat buat orang, kalau ada uangnya boleh juga kan? Ini job dengan bayaran termahal selama hidup.

Namun, masih ada satu masalah. Soal foto itu. Soal komentar-komentar netizen yang nyampe ratusan. Mendekati seribu. Kalau komentar positif, tentu aku nggak keberatan. Tapi ... ah, komentar mereka soal keluarga membuatku terganggu.

Ponsel yang masih ada di genggaman kubuka lagi. Aku menilik-nilik beberapa foto yang ku-update berbarengan membentuk postingan carousel. Aku menatap sekali lagi senyum lebar dan tawa lepas di foto itu.

Sorry, Gay. Sepertinya aku harus .... hapus!

Aku menekan titik tiga di pojok kanan atas postingan itu. Ada beberapa opsi di sana. Dari mulai hapus, sampai .... arsipkan!

Oh, aku nggak kuat kalau harus hapus postingan itu. Sepertinya, diarsipkan lebih aman. Foto itu nggak terlihat di feed. Tapi jika suatu saat ingin kutampilkan lagi, masih bisa. Lagian, hubunganku dengan Praha memanas gara-gara foto itu. Mungkin dengan begitu, nggak ada kecemburuan lagi darinya.

***

GAYA.

Mulai Bicara Lagi

Mama sedang menata makanan dan piring-piring di atas meja. Dari segi pelayanan, Mama nggak pernah berubah. Dia tetap Mama yang nggak pernah ingin membiarkan anaknya kelaparan. Tentu saja, sikapnya masih kecut dari kemarin. Dia seperti tukang masak yang sedang fokus bekerja tanpa melihat sekeliling.

"Cewek!"

Mama belum menjawab.

"Witwiw. Cewek ...." Saya terkekeh menggodanya.

"Hem!" Dia menjawab dengan ujung bibir terangkat. "Apa, cowok?"

"Akhirnya jawab!" Saya menarik kursi di depan Mama, lantas duduk menghadap Mama yang masih fokus jual mahal. "Gaya minta maaf."

"Belum dimaafin!" tegasnya. "Maaf terus mah nggak ada gunannya."

"Serius." Saya mengangkat tangan untuk mencawil kerupuk, tapi sebelum tangan itu sampai, geplakkan keras mendarat di punggung tangan.

"Cuci tangan dulu!" tegasnya. "Mama tahu itu tangan bekas nyileuh!"

Saya monyong. "Enak aja! Udah cuci tangan kok!"

Saya kembali melanjutkan mengambil kerupuk. Kali ini, nggak ada perlawanan sama sekali dari Mama. Lantas, saya membuka suara. "Gaya udah bikin lamaran kerja."

Ucapan itu membuat Mama mendongak. "Hm, becanda aja terus."

"Beneran, Ma." Saya menatapnya. "Gaya akan coba."

Mendengar ucapan itu, Mama duduk. Berhenti dari segala kegiatan sok sibuknya dari tadi. Sekarang, dia menarik gelas, meneguknya sejenak. "Kapan dikirim?"

"Mungkin sore ini." Saya melirik ke arah Mama. "Lagian, general manager hotelnya kan Bi Murni. Ada orang dalem. Santai aja kali!"

"Nggak boleh santai-santai!" Mama seperti akan menerkam. "Justru karena ada orang dalem, kamu jangan ngecewain. Kamu harus bikin lamaran yang bagus. Nanti pas ada panggilan, interview dan tesnya juga harus keren. Malu Mama kalau kamu nggak serius."

"Iya-iya." Saya menarik piring, menyendok nasi dari bakul. "Tapi, emang masih dibuka lowongannya? Kan udah beberapa hari. Siapa tahu udah dapet."

"Masih!" Mama menjawab cepat. "Mama semalem teleponan lagi sama bibimu. Ada beberapa kandidat yang melamar di bagian ... di bagian apa atuhlah, lupa Mama teh. Intinya mah di bagian yang suka nemuin tamu."

"GRO mah, Guest Relation Office."

"Tah eta, Garelo." Mama terkekeh.

"GRO, lain Garelo. Si Mama mah."

Tawa kami berderai di meja makan. Saya baru pertama kali melihat Mama seluwes itu dalam beberapa hari ini. Baru mendengar rencana saya saja, dia sudah sebahagia itu, gimana kalau saya benar-benar ditakdirkan untuk diterima kerja di hotel itu?

"Makasih, ya." Mama berucap dengan nada agak pelan. "Kamu mau nurutin Mama. Mama hanya pengin kamu bahagia. Itu saja."

Saya mengangguk. "Gaya akan coba. Meskipun berat."

"Kalau nanti diterima kerja gimana?" Mama berucap lagi. "Band kamu, nyanyi kamu?"

Aku mengambil ayam goreng dan menyimpannya di atas nasi. "Lamaran aja belum dikirim. Diterima juga belum pasti. Udah nanyain itu. Santai atuh Ma. Gaya juga perlu mikir."

Mama memilih mengangguk sambil mengulum senyum.

"Nanti kalau udah kerja di Jakarta, kamu bisa temuin Bapak kamu. Nanti dia bakal ...."

"Sttt. Jangan sebut-sebut dia, Ma!"

Mulut Mama mengatup. Dia yang awalnya bersemangat, lagi-lagi mengangguk. "Iya, iya ...."

Saya memilih makan dengan pikiran melayang-layang. Ini keputusan tersulit. Saat saya memilih untuk mengikuti permintaan Mama, maka ada satu nasib yang mungkin akan berakhir buruk. Riung Mungpulung Band.

***

Mulai panas niiih. Kira-kira, keputusan Gaya ngaruh juga ke Meta nggak ya?

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Where stories live. Discover now