21 || Senyuman Seorang Teuku Haider

19 7 3
                                    

Di bawah sinar pagi yang indah dan sibuk, aku hanya mampu memandang mee ayam yang dipesan oleh Haider seketika tadi. Selera makanku menghilang apabila melihat raut wajah Haider yang berubah. Sejak dari membuat laporan di balai, lelaki itu memilih untuk senyap.

" Ian, kau marah ke ?" tanyaku dengan nada perlahan. Jelas kedengaran sedikit getaran pada hujung pertanyaanku. Haider menghentikan tingkahnya. Dia memandangku dengan riak nol. Aku pula hanya bisa tertunduk.

" Kamu bisa gak jangan jalan jauh dari aku atau Myaa ? tempat ini masih belum ramah untuk kamu Syifa. Bahkan, kamu gak bilang ke aku untuk ke kota. Kalau kamu kenapa-kenapa, aku harus jawab apa ke Mama kamu ? untung aja pencopetnya gak nyulik kamu sekalian. Dan untung Arial ada nemenin kamu di halte." Jelas Adit panjang lebar.

Dan aku.

Aku memekakkan telinga. Malas hendak mendengar bicara lelaki itu. Tiba-tiba, Arial ? nama yang berlepas dari bibir Adit serta merta hadir di layar ingatanku. Memori kelam semalam saat aku ditemani Arial di perhentian bas kini terpapar jelas di minda. Akhirnya, aku ingat wajah itu.

Wajah saat pertama kali aku menginjak Kota Wisata Batu. Dan dia adalah lelaki yang membantu aku menaiki bas yang tepat untuk ke desa Myaa. Ya. Dia adalah lelaki itu. Aku segera menoleh Ian.

" Arial. Lelaki itu pernah tolong aku dapatkan bas untuk ke desa." Jelasku menyebabkan Ian kematian bicara. Pupil matanya seketika membulat. Dia kemudiannya menumpahkan pandnagan kearah Mee Ayam.

" Maksud kamu ?" tanyanya sambil menghirup mee ayam. Tanpa aba-aba, aku terus menceritakan perihal itu. Bercerita dengan nada yang tidak percaya. Tanpa memikirkan apa yang sedang bermain di minda dan hati lelaki bernama Teuku Haiderian.

Bagaikan tidak percaya dengan apa yang terjadi, aku menutup mulutku yang terlopong. Aku sudahpun lupa dengan siapa aku berbicara di hadapan. Aku lupa siapa Ian untukku. Bahkan, aku lupa dengan perasaan Ian saat bercerita soal lelaki lain di hadapannya.

" Kamu gak makan lagi kan ? yaudah kita pulang yuk." Ajak lalu segera bingkas dari dudukkan. Beralih kearah makcik penjual. Dia mengeluarkan wang kertas seraya membayar makanan kami.

Aku hanya memandang hairan. Perubahan yang aku rasa terhadap Haider masih belum bisa aku ungkapkan puncanya. Hatta, aku mula terasa seperti sedang disisihkan oleh Haider sendiri.

@ainsabt


Jam menunjukkan angka 5.30 petang. Seharusnya, dia sudahpun menutup cafe sejam yang lalu. Hanya sahaja dia didatangi oleh seorang tetamu. Dia tidak mampu menghalau. Bagaikan sebuah lukisan indah. Mereka duduk disebuah meja yang menghidangkan sebuah pemandangan gunung yang dihiasi dengan tirai kejinggaan.

" Makasih Arial kerna udah jagain Syifa kemarin." Ucapnya sekali lagi. Dia kemudiannya menghirup kopi panas. Usai, dia melemparkan retinanya kearah sebuah pemandangan bak lukisan.

Sesaat, tawa kecil dari Arial berlepas. Segera dia memandang lelaki itu. Cuba mencari maksud dari sebalik tawanya. Dia memandang Arial sambil menanti jawapan. Arial, sosok lelaki misteri yang muncul dalam cerita mereka itu memandangnya.

" Aku kenal Syifa deluan dari kamu. Tapi kamu yang pertama dapetin hatinya dari aku. Aku kira Syifa pasti udah ceritain kan pertemuan kami gimana ?" balas Arial tanpa segan silu. Wajahnya sedikitpun tidak kekok dihadapan Haider.

Haider menganggukkan kepala. Kini dia bisa memahami segalanya. Demi menutup rasa yang tidak enak dalam hatinya, dia menguntum tawa pendek. Cawan kopi dicapai sebelum diteguk sedikit. Lalu pandangannya dibuang jauh keluar. Dan begitulah tingkahnya apabila nama Syifa disebut oleh sang sepupu.

" Aku udah dengar kok dari Bunda. Kamu udah ngelamar Syifa kan. Makanya aku mampir ke sini. Mau ngomong dengan kamu." Jelas Arial perlahan. Haider memandangnya lama. Entah apakah dia yang harus rasa bersalah atau sebaliknya dalam hal ini ?

Arial sempat menghirup kopi yang tersisa di cawannya. Sejak tadi dia menunggu air kopi di cawannya surut untuk memulakan bicara. Dan kini, dia harus melepaskan segalanya.

" Aku sebenarnya udah suka dengan Syifa saat dari pertama kali lagi. Tapi lepas aku tahu kamu udah lamarin dia sampai harus ke Malaysia, aku mutusin untuk undur Ian. Syifa lagi pantes buat kamu bukan aku. Buktinya, kamu ngejarin dia kemana pun. Kamu ada di mana dia lagi susah apa senang."

Haider hanya memandang dengan riak kosong. Masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh derianya. Arial membalas pandangan dengan seukir senyuman. Di akhir tegukannya, dia berbicara lagi.

" Jadi kamu gak usah khawatir deh. Aku gak bakal ambilin Syifa dari kamu. Emangnya kita lagi pada sinetron gitu mau rampas-rampasin hak orang. Udah punya calon dari tetangga malah. Aku senang kok kalian bisa barengan. Kalau aja loh gak pernah suka ke Syifa, pasti punya gue kali ya."

Haider melepaskan tawanya. Dia meraupkan wajahnya. Mula rasa bersalah dengan sikap dinginnya terhadap Asyifa. Dia menganggukkan kepala. Sempat berterima kasih buat Arial.

" Makasih banyak Arial."

@ainsabt

Aku mengikuti jejak langkah Haider. Usai menunaikan solat Isya berjemaah disurau, lelaki itu sempat meminta izin Bunda untuk berbicara dengan aku seketika. Mungkin nak minta maaf kot. Memandangkan esok pagi, aku akan balik semula ke Sabah.

" Aku mau minta maaf. Dua hari ini aku sadar aku udah bersikap dingin ke kamu. Maafin aku Syifa." Jelasnya.

Aku kaku. Ternyata benar seperti yang aku duga. Aku memandangnya lama. Perlahan aku menganggukkan kepala. Walaupun sebenarnya aku sudah maafkan dia dari awal. Entah kenapa, tetapi begitu sukar rasanya hendak bergaduh dengan seseorang seperti Haider. Bukan hanya susah bahkan tidak berdaya.

Dia menghentikan langkah di hadapanku. Sempat dia berpaling ke kanan. Memandang yang lain dan juga Bunda Wadah yang sedang dipimpin Myaa dan Bundanya. Mungkin lebih elok jika ditemani sedemikian, daripada harus menjadi buah mulut orang desa.

" Maaf kerna aku udah cemburu saat kamu ada dengan laki-laki lain. Aku cemburu saat kamu terlelap di bahu Arial. Bahkan, disaat kamu begitu semangat cerita gimana pertama kali kamu ketemu dengan dia. Juga cowok di cafe yang nanyain nama kamu. Maaf Syifa. Aku harusnya gak kek gitu ke kamu." Jelasnya panjang lebar.

Ppang.

Bagaikan tertampar dengan realiti. Kini, aku sedar dengan silap sendiri. Terlalu berharap agar Haider bisa cemburu melihat aku bersama lelaki lain. Namun lain yang terjadi. Dan itu langsung tidak aku sedari. Hatta, membuat Haider menyalahkan dirinya.

" Nope, aku yang salah. Maaf sebab buat kamu cemburu pasal Arial."

Haider menguntum senyum. Dia menggelengkan kepala. Lelaki itu kemudiannya memandang keliling. Dan pandangan itu berakhir tepat kearahku. Senyuman yang menjadi semangatku bergaris semula mengorak kesenangan.

Aku memandang sepasang senyuman dan lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Hanya memandang senyuman dan lesung pipi dari Haider, hati kecilku bisa merasakan ketenangan dan kesenangan yang berlipat.

" Besok aku yang hantar ke bandara ya."

Aku mengangguk. Namun retina coklat milikku masih memandang indah akan senyuman yang tercalit dengan dua lesung pipi di pipi seorang anak kelahiran Acheh itu. Dikala sedang menikmati senyumannya, aku tersedar apabila Haider menjentik dahiku. Aku tersentak lalu menatapnya. Dia tertawa kecil.

" Udah jangan liatin senyum dan lesung pipi aku. Yang lain pada liatin loh dari tadi. Emang sukanya ke senyum dengan lesung pipi atau ke orangnya ?""

" Dua-dua." Jelasku. Aku dan Haider kemudian berbagi tawa dibawah terangnya bulan. Yang juga ditemani si kerdil bintang yang tergantung indah ditirai hitam kebiruan tanpa tongkat itu.

Dan aku terus berharap, apapun kejadiannya di hadapan nanti – aku harap kita masih bisa selesaikannya dengan baik dan kembali tertawa seperti ini.




Sandakan, Sabah
2021- Ain 🤍

UNDER THE RAIN [ C ]Where stories live. Discover now