Arsen menunduk kembali.

"Dia meninggal di meja operasi dan di tangan Arsen. Sebelum dia di operasi, dia menitipkan ibu dan adiknya pada Arsen. Pasien Arsen itu, adik dari sahabat Arsen, pi,"

Arsen meremas ponselnya.

"Arsen sudah janji padanya akan menjaga ibu dan adiknya. Arsen melakukannya. Sampai terakhir Arsen merasa sudah cukup bagi Arsen menjaga ibu dan adiknya. Adiknya sudah selesai kuliah dan bisa membiayai ibunya dari hasil kerjanya. Saat itu pula Arsen bertemu Naira. Arsen tidak pernah mendengar kabar mereka lagi, sampai kemarin mereka datang ke rumah sakit,"

Arsen mengangkat kepalanya dan menatap ayahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Arsen harus apa, pi? Dia datang dan bilang Arsen menelantarkan mereka. Arsen tidak memenuhi janji Arsen pada kakaknya. Dia bilang Arsen sudah membunuh kakaknya. Arsen merasa tidak pantas menjadi dokter, pi,"

Alvaro berdiri dari sofa dan menghampiri Arsen. Dia memeluk Arsen dan saat itu tangis Arsen pecah. Ardan dan Arman saling melirik. Mereka memiliki satu tugas baru. Mereka sejak awal memang merasa aneh dengan kelakuan adik mereka. Siapa sangka selama beberapa hari terakhir ini, Arsen kembali memakai keahliannya dalam menyembunyikan sesuatu.

"Hari itu saat Naira datang, Arsen tidak sadar dia sedang keluar dari kamar rawatnya. Saat dia memanggil Naira, Arsen kaget dan berusaha mengalihkan dia dari sana. Dia menginginkan posisi Naira, pi. Ibunya mendukungnya untuk itu. Arsen hanya tidak mau menaruh Naira di posisi berbahaya seperti itu. Mereka bisa melakukan apapun pada Naira,"

"Dek... Mereka tidak akan mungkin berani, Nai ada dalam perlindungan bodyguard kakakmu," Ujar Alvaro.

Arsen menggeleng.

"Arsen pernah melihatnya, pi. Arsen mungkin psychopath tapi, mereka lebih gila dari Arsen. Arsen pernah menolak permintaannya, pi. Arsen sudah janji dengan Naira waktu itu. Lalu, dia... Dia malah menyuruh ibunya ke rumah Arsen. Arsen saja tidak tahu dari mana dia mendapatkan alamat rumah Arsen. Dia bisa membunuh orang jika dia mau, pi. Naira... Arsen tidak mau Naira dan anak Arsen terluka karena mereka,"

Para perempuan Dimitra paham sekarang. Alasan seorang Arsen membatalkan acara mencari es campur dengan Naira. Arsen saat itu sudah pulang dan dia melihat ibu dari pasiennya berdiri tak jauh dari rumahnya. Arsen jelas memilih mundur dan kembali ke rumah sakit daripada Naira terluka karena keegoisannya.

Arsen masih menangis sesenggukan. Arsen takut istrinya hilang karena perbuatan pasiennya. Arsen takut mereka melakukan hal gila pada istrinya. Arsen hanya mau melindungi mereka dari manusia yang lebih gila darinya.

"Kalau Arsen tidak terikat janji pada kakaknya, Arsen sudah menghabisi dia dan ibunya, pi. Arsen tidak akan ragu melakukannya di saat pertama dia memandang Naira dengan raut menjijikannya!"

Alvaro menghela kecil. Untuk kali ini dia bersyukur dia tidak segegabah itu. Dia tidak mengambil keputusan yang salah seperti saat dia menyodorkan surat cerai untuk Arman dulu. Alvaro menepuk punggung Arsen. Membiarkan anak itu mengeluarkan semua bebannya beberapa minggu belakangan ini. Setelah Arsen agak tenang, dia melepaskan pelukan ayahnya dan memilih menundukkan kepalanya.

"Untuk membatalkan janji, alasan itu bisa dimaafkan. Untuk membentak Naira beberapa hari lalu? Apa alasanmu?" Tanya Maura.

Arsen hanya terkekeh lirih.

"Kalau ada orang yang mengancam akan membunuh Ella dan saat itu Ella menghilang tanpa kabar apa yang akan kau lakukan, Mara?" Tanya Arsen.

"Saat tahu dia di Bali dengan kalian aku tenang. Tapi, setelah itu dia hilang tanpa jejak. Tidak ada lagi pemberitahuan dari bank dan saat itu aku malah mendengar beberapa orang mengatakan Natasha baru saja mengimunisasi Albern yang itu artinya kalian sudah kembali dari Bali. Bertepatan pula dia keluar dari rumah sakit. Kalau dia menemui Naira dan mencelakainya aku harus apa?"

"Semua ucapanku saat itu hanya karena aku terlalu kalut. Aku tidak pernah bermaksud mengatakan hal konyol itu!!"

Arsen benar-benar kalut saat. Dia tidak memikirkan lagi apa yang keluar dari mulutnya. Semua itu keluar begitu saja tanpa dia sempat menahannya. Bahkan kalau kalian tanya apa yang dia sebutkan saat itu, dia akan mengggelengkan kepalanya. Dia tidak ingat sama sekali.

"Arsen tahu Arsen salah. Arsen sangat sadar akan kesalahan Arsen. Tapi, pilihan apa yang Arsen punya? Meminta bantuan kak Ardan dan kak Arman? Anak mereka masih kecil dan mereka masih harus membantu Mara dan Natasha menjaga anak mereka. Minta bantuan papi? Papi bahkan masih dalam masa pemulihan. Arsen tidak mungkin terus-terusan meminta kak Xeon terbang dari Eropa ke Jakarta?"

Arsen bukannya tidak memikirkan solusi untuk masalahnya ini. Hanya Arsen menemukan jalan buntu lantaran Naira tiba-tiba menghilang. Arsen sudah berencana untuk menempati mansion keluarga Kenneth di German bersama dengan Naira dan Lisa untuk sementara waktu. Arsen mau berangkat saat Naira kembali dari Bali. Siapa sangka? Karena kekalutannya saat itu dia malah membuat istrinya lari meninggalkannya.

Ardan menghampiri Arsen. Dia menyodorkan sebuah kertas di saku celana kerjanya ke tangan Arsen. Mata Arsen dibuat terbelalak melihat kertas di tangannya saat Arsen mengangkat kepalanya untuk menatap sang kakak. Saat itu Ardan tersenyum padanya. Tangan Ardan mengusap kedua pipi Arsen yang agak basah oleh airmata anak itu.

"Jemput anak dan istrimu dan bawa pulang. Urusan mereka biar kakak dan Arman yang mengurusnya. Untuk rumah. Kamu bisa pindah ke daerah rumah kami. Disana lebih aman dan Naira bisa berkunjung untuk main dengan Mara dan Natasha. Arman bisa membantu membelikan rumah itu dulu untuk kamu,"

Arsen mengangguk. Dia berterima kasih dengan sangat pada kakaknya. Arsen segera berdiri untuk membasuh wajahnya. Dia kemudian segera berangkat ke alamat yang sang kakak berikan. Tidak terlalu jauh dari Jakarta dan masih bisa ditempuh dengan mobilnya.

"Ai... Tunggu aku! Aku akan jelaskan semuanya dan menjemput kalian pulang!"


............

Pinggiran JakBar, Oct 19th 2021.

[DS #3] Save Me Hurt MeWhere stories live. Discover now