Pukul delapannya, Arun sudah merasa ada yang kurang. Tidak dari porsi telur di nasi gorengnya, tidak dari jatah libur semester yang sebentar lagi habis, tidak pula dari durasi episode Jujutsu Kaisen yang ditontonnya selama sarapan. Dan dia tahu persis perasaan ini.

Setelah keluar SSB, memilih SMA, dan masuk hari pertama pengenalan lingkungan sekolah, Arun merasakan kekurangan yang sama. Tak sampai kosong, tetapi berbeda. Hari-harinya bergeser—ketika seharusnya Arun pemanasan, dia berdiri tegak di lapangan upacara; ketika seharusnya dia mengonsumsi daging dan telur rebus, protein di kantin yang mendekati hanya semangkuk bakso. Dia baru bisa menjalani rutinitas latihan sesuai jadwal ekskulnya, yaitu sepulang sekolah setiap Selasa dan Kamis serta hari Sabtu.

Bedanya, mengantar buket baru dilakukannya dua minggu, bukan bertahun-tahun.

Arun mengelap tangannya sehabis mencuci piring. Jika pencarian alamat Ibu Lis bisa sama efeknya dengan sekolah sepak bola, apa itu berarti passion Arun ikut bergeser? Dia kembali duduk di meja makan. Hah, beratnya berpikir pagi-pagi. UTBK tinggal empat bulan lagi, minggu depan sudah harus menyerahkan formulir pada Bu Sofie, sudah begitu kemampuan mengendarai motor Arun pun menurun drastis.

Mengendarai motor. Mengapa tidak mengisi sisa libur ini dengan belajar lagi saja?

Arun beranjak dari depan TV untuk menuju ruang kerja Mbak Drina yang pintunya ditutup.

"Mbak," panggilnya sambil mengetuk. "Mbak Drina? Sibuk, nggak?"

"Jangan masuk!" seru yang di dalam. "Kenapa?"

"Gimana mau masuk kalau dikunci begini?" Arun iseng mengetes gagang pintu, yang ternyata memang betulan terkunci. "Arun pinjam motor, ya."

"Mau pergi ke mana?"

"Yang dekat aja, sampai depan gang balik lagi."

"Kamu mau latihan naik motor?"

"Eng, ya, gitu, deh." Arun mengusap tengkuk. "Boleh, kan?"

Mbak Drina terdiam, kemudian pintu terbuka. Tangan kanan Mbak Drina memegangi gagang pintu, merapatkannya hingga Arun tak dapat mengintip barang sedikit. "Kamu yakin?"

Arun bergumam lama. "Ya ... habis kapan lagi? Keburu masuk sekolah."

"Udah nggak takut?"

Dari awal, memang bukan motor yang membuatnya takut, tetapi kemungkinan mencelakai dari mengendarainya. Arun menggeleng. "Arun janji bakal hati-hati."

"Perlu Mbak teleponin salah satu teman kamu, nggak, buat nemenin?"

Arun tertegun. Dari semua berondongan pertanyaan Mbak Drina, hanya ini yang tak mampu dia jawab. Dia justru ingin balas bertanya, misalnya teman siapa yang akan Mbak Drina hubungi? Atau adakah permohonan lagi selain itu? Jika Mbak Drina malah menelepon Jia, ambyar sudah. Apalagi sampai meminta tolong untuk menyemangati Arun. Tiga hari lalu, dia pasti akan kegirangan, tapi sekarang semua sudah tak lagi sama.

Dia kembali menggeleng. "Nggak usah, Mbak. Cepat, kok."

Mbak Drina tersenyum. Diacaknya poni Arun karena tinggi badan dan posisinya yang terimpit pintu kurang mencapai puncak kepala. Mereka berdua sama-sama menertawakan usaha Mbak Drina itu.

"Maafin Mbak, ya, udah ngelarang-larang kamu naik motor."

Arun membetulkan poninya lagi. "Arun ngerti."

"Ya udah, Mbak mau kerja dulu. Kabarin kalau ada apa-apa."

"Santai, Mbak. Cuma ke depan gang ini."

"Hati-hati!" serunya sembari melambaikan tangan sebelum menutup pintu. "Cepat pulang!"

MemoriografiМесто, где живут истории. Откройте их для себя