Selama mereka mengunyah, sepanjang itu pula mereka hening. Bahkan Rani tak mengajak bicara. Arun memanfaatkan diamnya mereka untuk menikmati kebab pelan-pelan, memfokuskan segenap perhatiannya pada gulungan tortila dan selada. Terakhir Arun memesan ini sebetulnya bukan saat kelas sebelas, tapi awal semester silam. Arun sedang menemani Jia membeli lipstik—atau apa pun itu nama kekiniannya, lip tinta sesuatu—kemudian mereka membeli kebab titipan Mbak Drina. Sebelum pulang, mereka mampir ke kedai gelato tak jauh dari kios kebab ini. Arun rasa mint pistachio, Jia rasa vanilla biscoff. Jia memakai anting bunga kecil warna kuning yang tampak saat rambutnya diselipkan ke belakang telinga. Arun memujinya, walau Jia mengaku awalnya kurang percaya diri. Namun karena Arun menyukainya, dia pun menyelipkan rambutnya di telinga satu lagi. Mereka berdua tertawa.

Pandangan kosong Arun jatuh ke lantai. Kebabnya masih bersisa setengah lagi.

"Run?" panggil Uchi. "Itu tomatnya mau jatuh."

Arun membetulkan posisi tangannya yang terlalu miring, mencegah kebabnya tumpah. Matanya mengerjap. Begitu dia menengok Uchi, ternyata Rani dan Haris juga sedang melihat dirinya. Arun pura-pura sibuk mengunyah dan menggigit kebab besar-besar. Padahal, dalam hatinya, dia hanya ingin mengenyahkan bayangan Jia yang bahagia. Apa jangan-jangan tawanya saat itu palsu?

"Nggak ngefek, ya?" tanya Rani hati-hati.

"Arun ke sini bukan cuma sama kita. Pasti pernah juga berdua sama Jia," simpul Uchi.

Rani merebahkan kepalanya ke bahu Uchi. "Terus kita ke mana, dong?"

"Nonton? Photobox? Mau nggak, Run?" ajak Uchi.

Arun menggeleng.

"Hm, ya udah, kalau gitu." Rani bangkit. "Aku mau ke toko buku dulu. Nanti kita ketemuan lagi di bawah kalau udah pada selesai. Arun, Uchi, Haris, terserah mau ke mana. Jalan-jalan biasa juga nggak apa-apa. Mungkin itu yang lagi Arun butuhin. Kamu mau ikut aku nggak, Chi?"

"Mau beli apa?"

"Nggak tahu, lihat-lihat aja dulu. Oke? Gimana? Maaf ya, Run, kalau nggak sesuai rencana."

Sambil menggigit kebab, Arun mengangguk. Diliriknya Haris yang terdiam. Dia menghargai usaha Rani ini, tapi sayangnya dia juga harus akui bahwa ini sia-sia.

"Makasih, Ran," gumam Arun. "Uchi juga. Haris juga."

Rani menggerakkan telunjuknya ke kanan-kiri. "Nggak usah. Justru aku nggak enakan sama kamu. Aku yang tiap hari ngobrol sama Jia malah nggak tahu kalau dia begitu. Tapi ... kalau kamu pengin kami nggak ngomong dulu sama dia, nggak apa-apa. Aku bakal tutup mulut sampai kalian yang selesaiin."

Uchi ikut berdiri. "Kalau gue jadi Jia, mungkin gue bakal kesal karena kita tahu duluan. Tapi, makasih udah cepuin Jia, Run. Semoga patah hati lo cepat sembuh."

Kedua gadis itu pergi ke arah toko buku. Arun menyelesaikan kebabnya, ditunggu Haris yang sudah menghabiskannya lebih dulu. Mereka pun beranjak dari bangku.

"Gue mau beli senar gitar," kata Haris.

Arun mengiakan, lantas keduanya bertolak ke tempat yang dimaksud.

Arun mengiakan, lantas keduanya bertolak ke tempat yang dimaksud

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
MemoriografiWhere stories live. Discover now