Orlin merengut, seluruh saraf wajahnya dimainkan. Firasat Arun, aksi ini juga bagian dari siasat. Namun siapa Orlin sampai merasa mampu membodohi profesional? Atau dia punya rencana lain?

"Oke, tapi kita nggak tunggu di sini. Di sebelah sana aja." Tangan Orlin mengarah ke lorong terbuka di sebelah kanan. "Di situ pasti ada bangku."

Mereka berlalu. Sambil berjalan, Arun sempat melihat perawat tadi sibuk sendiri lagi. Langkahnya dipercepat hingga dia bisa memastikan Orlin terpaksa mengekorinya. Akhirnya, di pertigaan yang mengarah pada bangsal-bangsal, berlatarkan taman hijau asri, Arun berhenti lalu duduk di bangku yang tersedia. Tangannya bersedekap.

"Butuh penjelasan?" Nada bicara Orlin netral.

Arun bertumpang kaki.

"Pertama-tama," Orlin duduk menyamping, menghadap Arun, "saya mau disclaimer dulu kalau tadi saya cuma coba buat jadi nyebelin, bukan mau ganggu. Ada bedanya. Dan ada alasannya."

"Terus?"

"Terus, kamu udah tahu, kan, ini rumah sakit jenis apa? Holistik. Beberapa menyebutnya rumah perawatan alih-alih pakai kata 'sakit.' Berarti, kemungkinan pasien yang menderita penyakit viral atau menular hanya sekitar 0,034 persen, sedangkan delapan puluh sembilan persennya penyakit turunan, termasuk penyakit autoimun dan gaya hidup. Tahu, kan? Kanker, diabetes, dan sebagainya. Sisanya pasien gawat darurat dan pemulihan pasca-kecelakaan. Anyway, data ini saya konversi dari yang tersedia di internet dan pernah saya baca sebelumnya. Jadi ini fakta, bukan kayak prediksi kemungkinan alamat."

"Apa hubungannya sama akting jelek kamu tadi?"

"Sabar," putusnya. "Itu artinya, kalau pengamanan RS ini di area lain bisa seburuk tadi, kita nggak perlu tunggu jam besuk. Kita bisa pakai cara lain biar bebas keliling sampai ketemu Ibu Lis, tanpa takut nyasar ke bangsal yang berisiko buat dikunjungi karena penyakit pasiennya."

"Sebentar. Kamu gila, apa?" desis Arun. Kepalanya menoleh kanan-kiri, takut ada perawat atau dokter yang lewat. "Cara lain? Lewat mana? Kamu mau nerobos pakai lompatin dinding kayak anak sekolah kesiangan, gitu?"

"Bukan saya. Kamu." Orlin tersenyum percaya diri. "Saya sengaja jadi nyebelin—bukan ngeganggu—biar saya yang ditandain dan kamu, yang taat aturan, nggak dicurigai kalau mau berbuat kesalahan."

Arun ingin sekali mengumpat. Di benaknya, ensiklopedia caci-maki sudah tersedia, tapi akhirnya batal dibaca. Tarik napas, tahan, buang. Setelah Arun yakin dia tak akan mengeluarkan kata-kata kotor, dia berkata tegas. "Saya nggak mau."

"Kenapa? Kaki kamu luka juga pas kecelakaan?"

"Apa? Nggak!"

"Sini." Orlin mengajak Arun bergeser. Jarinya menunjuk bangunan kotak-kotak bangsal dan poli di dalam RS ini. "Lihat dinding bolong-bolong itu? Kalau kita bisa manjat ke salah satunya, kita bisa dapat akses ke wilayah yang dipagari tadi. Koridor ini kayak cabang pohon, satu jalur mengarah ke satu area bangunan. Uniknya, sekalinya kita bisa masuk salah satu ruangan itu, kita bisa masuk ke ruangan lain, karena tiap bangunan punya jalan rahasia yang saling terhubung. Mereka sendiri yang share denahnya di website resmi, loh. Pakai dikasih nama dan filosofi segala, lagi." Kini kedua tangannya berayun-ayun. "Bagai pohon kehidupan, kami siap menaungi proses penyembuhan Anda. Kami akan bantu Anda mewujudkan ketenangan hati, diri, dan orang tersayang lewat fasilitas alami yang dipadu perawatan canggih terkini. Bla bla bla bla."

Perasaan Arun masih campur-baur.

Orlin berdiri dalam sekali lompat, dan setelah berjalan beberapa langkah, telunjuknya kembali mengacung ke salah satu dinding. "Itu dinding paling rendah, kira-kira 2,5 persen lebih pendek dari yang lain. Tinggi kamu dilihat-dilihat bisa sampai setengah tinggi dinding itu dibandingkan saya yang cuma 0,43 persen. Jadi, kamu lebih gampang buat manjat dindingnya dan masuk ke sana."

MemoriografiWhere stories live. Discover now