dua puluh empat

4.9K 473 22
                                    

Azeta menggeleng. "Ini bukan salah kamu, Rel. Ini keputusanku." Katanya.

"Please... Libatin aku dalam mengasuh Kiev, Zet." mohon Karel tulus. "Aku ingin jadi ayah yang baik dan bertanggung jawab buat dia. Yang bikin dia bangga." air mata Azeta masih mengalir. Ia mengangguk sembari memejamkan mata, masih berada dalam pelukan Karel. Lalu mereka saling diam beberapa saat sampai Karel memecah keheningan.

"Gimana hubungan kamu sama Enzo?" Tanyanya. Azeta mengusap sisa air matanya.

"Baik-baik aja." Ia melepaskan diri dari Karel dan menatapnya. "Aku pikir Kiev juga nyaman sama dia." Jawab Azeta.

"Selama Kiev nyaman, itu ngga akan jadi masalah." Tambahnya. Karel diam sejenak. Ia cukup mengenal Enzo dengan baik. Tapi, ia tidak suka melihat kedekatan Azeta dengan pria itu. Bukan karena pria itu bukan pria baik-baik. Justru pria itu sangatlah baik. Jujur saja ia cemburu. Ia baru saja mengenal Kiev, putranya yang baru-baru ini ia ketahui dan ia merasa terganggu membayangkan suatu hari Kiev mempunyai Ayah selain dirinya. Selain itu Azeta... kenapa rasanya ia tidak rela?

"He's a good man." Katanya pada Azeta.

"I think so." Wanita itu membenarkan. Karel ingin mengatakan pada Azeta bahwa mereka berdua terlihat tidak cocok tapi rasanya tidak etis. Apa yang akan Azeta pikir nanti?

Lagi-lagi hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Karel kemudian menatap jam di tangannya. Sudah terlalu malam, tapi ia harus pergi.

"Kalau gitu, aku pulang dulu, Zet." pamitnya. Azeta tak mencegahnya walau sudah selarut ini. Tentu saja.

"Aku boleh ke kamar Kiev dulu?" ijin Karel. Azeta jelas membolehkannya. Mereka pun menuju kamar Kiev. Karel mendekati ranjang putranya, mengelus kepalanya lembut dan mengecup keningnya dengan sayang.

"Aku pulang, Zet." pamitnya lagi. Azeta mengangguk.

"Hati-hati, Rel." pesannya. Karel tersenyum dan segera keluar dari rumah Azeta.

Azeta menghela napas panjang setelah kepergian Karel. Rasanya aneh dan canggung mereka berdua bersikap seperti sekarang mengingat bagaimana kegilaan dan keseruan antara dirinya, Karel dan juga Juno.

Ia telah merusaknya. Ia ingin menyesal. Tapi jika ia menyesal artinya ia juga menyesali adanya Kiev padahal bocah laki-laki itu anugerah terindah yang pernah ia miliki.

Bisakah mereka bersikap seperti dulu?

Tentu saja, tidak. Meskipun terkadang, ia merindukan momen-momen menyenangkan itu. Tapi apa yang terjadi tahun-tahun selanjutnya, telah mengubah mereka.

Menjadi mereka yang sekarang.

*****

"Kamu mau kemana sepagi ini?" tanya Nadine keheranan saat melihat Karel sudah siap dan rapi saat dirinya baru bangun tidur. Karel menatap Nadine sejenak, berpikir bagaimana cara mengatakannya pada Nadine. Ia akan mengantar Kiev ke sekolah pagi ini.

Sebenarnya ini sudah ketiga kalinya ia mengantar Kiev hanya saja kemarin-kemarin tak ada pertanyaan dari Nadine karena wanita itu berada di rumah Mamanya.

"Ehem, aku mau nganter Mama ke rumah Tante Eli." dustanya.

"Sepagi ini?"

"Nad, jarak dari sini ke rumah Mama kan sekitar 45 menit. Belum lagi nanti ke rumah tante Eli." ia beralasan. Nadine menatap Karel masih merasa aneh. Tapi kemudian ia mengabaikan perasaannya. Ia percaya pada Karel. Selalu.

Ia turun dari ranjangnya dan mengambil pakaiannya yang berceceran akibat ulah Karel semalam. Ia mengenakannya lalu memeluk pria itu dari belakang.

"Aku masih kangen kamu." ungkapnya manja sembari menghirup wangi punggung pria itu. Ada perasaan aneh saat Nadine bersikap manja seperti saat ini. Dulu, ia pasti akan tersenyum gemas dan menciumnya puluhan kali. Tapi, kali ini rasanya sulit di jelaskan.

Ia melepaskan pelukan Nadine dan menghadap wanita itu. Ia menangkup wajah cantiknya dan mencium keningnya.

"Kita ketemu nanti malem di Empire?" tawar Karel. Berharap segala perasaan yang dirasakan pada Nadine sebelumnya akan kembali. Nadine sontak tersenyum. Empire adalah sebuah restoran fine dining andalan mereka.

"Tapi, jadi kamu nggak jemput aku dulu?"

"Kalau aku nggak lembur."

"Oke, kalau gitu. Hati-hati, sayang. Love you." Nadine berjinjit mengecup bibir Karel dan berlari menuju kamar mandi.

Karel menarik napas dengan berat sembari menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Padahal ia tidak sedang mengkhianati Nadine. Namun rasanya ia merasa bersalah padanya.

Kenapa?

_______

Mata Kiev membelalak senang saat melihat Karel lagi-lagi datang ke rumahnya sepagi ini. Namun setelah itu matanya tiba-tiba meredup.

"Hi, jagoan!" sapa Karel yang kemudian menggendong putranya. Kiev memeluk Karel dalam gendongan pria itu.

"Hei, ada apa?" tanya Karel yang menyadari putranya sedih. Ia mengelus punggung Kiev lembut tapi mantab.

"Mommy habis muntah-muntah." adunya dengan nada ingin menangis. Karel pun segera menurunkan Kiev dan masuk ke dalam.

"Mommy dimana?"

"Dikamarnya." Karel menuju kamar Azeta. Dirumah ini hanya ada dua kamar dan ia sudah tau pasti dimana kamar Azeta.

"Zet," ia membuka kamar wanita itu tepat saat ia keluar dari kamar mandi. Ia terlihat pucat dan terkejut saat melihat Karel yang sudah datang.

"Kamu sakit?" tanya Karel mendekat. "Kata Kiev kamu muntah-muntah."

"Kayaknya cuman masuk... Huekk-" ia mual lagi dan kembali ke kamar mandi. Karel menatap Kiev yang berdiri di ambang pintu dengan raut khawatir. Ia menghampiri putranya, membungkuk dan menggenggam tangannya.

"Mommy bakal baik-baik aja. Trust me." hibur Karel. Kiev hanya menatapnya. Karel pun memeluknya untuk menenangkannya. Pelukan hangat seorang ayah untuk putranya.

"Kiev udah mandi?"

"Belum."

"Yaudah, sekarang Kiev mandi, terus nanti Uncle antar ke sekolah. Oke?" suruh Karel. Kiev, yang masih khawatir dengan Mommynya tetap menuruti Karel dan pergi ke kamarnya.

"Rel, Kiev mana?" tanya Azeta ketika ia keluar dari kamar mandi.

"Aku suruh dia mandi." jawab Karel. "Kamu pucet banget, Zet."

"Aku baik-baik aja, Rel." katanya yang hendak keluar dari kamarnya namun ditahan oleh Karel.

"Kamu istirahat aja, Zet. Jangan dipaksa." suruh Karel.

"Tapi bekal Kiev-"

"Biar aku yang urus itu." katanya. "Untungnya aku kesini pagi-pagi." syukur Karel sembari membawa Azeta ke ranjangnya. Ia menyentuh pipi dan kening Azeta yang dingin.

"Apa aku salah makan?" Azeta menerka dengan ragu karena perutnya benar-benar terasa tidak nyaman.

"Nanti habis aku antar Kiev, kita ke dokter." putus Karel.

"Nggak, Rel. Nggak usah. Aku-"

"Zet, apa kamu tau gimana ekspresi Kiev tadi? Dia khawatir sama kamu."

"Aku nggak mau ngerepotin kamu, Rel. Apalagi kamu kan harus kerja."

"Aku bisa ijin terlambat sebentar. Makanya nanti kamu siap-siap, jadi aku sampai disini kita langsung berangkat ke dokter." Azeta menatap Karel lalu mendesah.

"Aku benar-benar ngerepotin kamu, Rel." Azeta benar-benar merasa tidak enak.

"Kayak sama siapa aja, Zet. Dari dulu juga ngerepotin, kan?" Azeta mengerjapkan mata cepat. "Inget pas kamu minta jemput di sekolah gara-gara kamu tembus padahal aku masih dikampus?" ungkit Karel yang membuat pipi pucat Azeta memerah.

"Rel!" tegur Azeta malu. Lucu sekali melihat wanita yang dulu tak tahu malu itu tersipu. Karel pun tergelak, sedangkan Azeta menatapnya malas.

"Nggak usah ngerasa nggak enak, Zet. Aku ngelakuin ini karena Kiev." katanya. "Jangan lupa, aku kan juga ikut andil bikin Kiev." pernyataan Karel yang sedikit jail dan tidak perlu itu sontak membuat Azeta mendelik. Ia semakin merona.

"Rel, ih!" Karel lagi-lagi tergelak. Gemas melihat ekspresi Azeta. Juga merindukan Azetanya dulu.

______

beautiful accidentWhere stories live. Discover now